Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 23 : Tri Atmo, Jernih Menguak Sejarah


Ketika berbicara tentang sejarah Purbalingga, kita tak akan bisa meninggalkan nama Tri Atmo. Meskipun seringkali dipercaya pemerintah untuk menyusun buku sejarah, wartawan sekaligus penulis kawakan ini mengaku tak pernah menutupi kenyataan seburuk apapun dibalik sebuah catatan masa lampau.





Ketertarikan lelaki kelahiran 5 Juni 1940 ini pada sejarah, bermula saat dia menjadi salah satu jurnalis Harian “Suluh Marhaen” tahun 1966 terbitan Yogyakarta. Dari wawancara dengan para pelaku sejarah, Tri Atmo muda menjadi semakin penasaran dan terobsesi menyibak selubung-selubung sejarah yang seringkali tak terungkap.
Gayung bersambut. Tahun 1968, Jawatan Penerangan mempercayakan pembuatan buku silat berlatar belakang catatan sejarah kepadanya. “Sotya Ludira”, begitu nama buku yang dicetak sekitar 300-an copy dengan harga Rp 50,- per eksemplarnya.
“Penjualan perdana sukses, akhirnya saya diminta membuat serialnya. Jadi saya buat jilid kedua, dan ternyata habis terjual juga,” ungkapnya bangga.
Meski pada jilid ketiganya juga sold out, Tri Atmo tak lagi meneruskan pembuatan buku itu. Hal itu semata-mata karena tidak lancarnya sirkulasi dan distribusi disebabkan agen-agen yang tidak amanah.
Tak lagi menulis buku bukan berarti berhenti berkarya. Tri Atmo semakin aktif menggeluti profesinya sebagai wartawan. Padahal situasi politik saat itu masih sangat tak menentu. Bahkan Tri Atmo pernah dikepung oleh sekelompok pemuda terkait tulisannya tentang PKI.
“Saya dikira orang PKI, hanya gara-gara saya mengangkat kebenaran dibalik peristiwa G 30 S PKI,” tutur lelaki yang pernah mengenyam pendidikan jurnalistik tahun 1959 dan aktif di Kantor Berita Antara Purwokerto hingga tahun 1969.
Berbagai peristiwa buruk ditambah kondisi negara yang tidak jelas, membuat Tri Atmo memilih mundur dari dunia pers. Dia menyibukkan diri mengumpulkan berbagai data seputar sejarah yang menggelitik rasa ingin tahunya.
Perjalanan panjangnya dalam mengumpulkan berbagai dokumen sejarah menuai hasil. Tahun 1984, dia sukses menerbitkan buku berjudul “Babad dan Sejarah Purbalingga”. Buku yang didanai oleh Bagian Kesejahteraan Sekretariat Wilayah Daerah (Setwilda) Kabupaten Daerah Tingkat (Dati) II Purbalingga ini, dicetak sebanyak 500 eksemplar dan dibagikan gratis ke sekolah-sekolah sebagai bahan pembelajaran.
“Tahun 1993, Jenderal Haryo Darmoko salah satu keturunan Arsantaka meminta saya membuat buku berjudul ‘Mengenal Purbalingga’ yang diperbanyak hingga 1000 eksemplar,” imbuhnya melengkapi.
Pada masa Kepemimpinan Triyono Budi Sasongko, suami dari Sudiyah ini kembali dipercaya membuat buku berjudul “Kilas Sejarah Purbalingga” untuk menandai Hari Jadi Kabupaten Purbalingga ke-178 di akhir tahun 2008. Terakhir di tahun 2013 ini, dia juga menyusun buku serupa dengan judul “Ki Arsantaka”  atas prakarsa Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Purbalingga yang mana dia sendiri ditunjuk sebagai ketuanya.
Selain buku-buku sejarah, mantan reporter sebuah radio AM di Purbalingga ini juga pernah membuat buku kumpulan cerita berbahasa Banyumas. Buku setebal 100 halaman itu dia beri judul “Dablongan” yang diterbitkan oleh putra daerah yang cukup sukses di ibukota, Purbadi Hardjoprajitno.

Ungkap Apa Adanya
Kejujuran menjadi salah satu hal terpenting dalam penulisan buku sejarah bagi Tri Atmo. Menurut Tri Atmo, penulisan buku sejarah acapkali terpengaruh oleh kepentingan politik si penulis atau promotornya. Sebagai contoh, bagi Belanda, sosok Diponegoro akan diilustrasikan sebagai sosok yang sangat bejat dan membahayakan. Tapi bagi warga Indonesia, Pangeran Diponegoro tentu saja seorang pahlawan yang tegas dan gagah berani.
Bagi Tri Atmo, baik buruk suatu sejarah seharusnya ditulis apa adanya. Sebagai contoh, saat menulis Sejarah Kabupaten Purbalingga, dirinya tak pernah menutupi sosok Arsantaka yang lebih pro Belanda sehingga mendapatkan banyak kemudahan dalam hidupnya. Baginya, kalau memang kenyataan semacam itu, mengapa harus ditutupi.
“Bapak saya seorang PKI. Itu kenyataannya. Tapi saya tidak amsalah, lha wong itu sejarah. Bagaimanapun dia bapak saya, saya harus menghormatinya,” jelasnya.
Yang terpenting bagi pecinta tahu mentah ini, apa yang tercatat dalam sejarah sudah sepantasnya diambil hikmahnya, diambil pelajarannya. Sehingga sesuatu yang bruk dapat diantisipasi. Sesuatu yang baik,, dapat dimaksimalkan.
“Karena sejarah itu biasanya terulang, tentu dalam versi yang berbeda. Itylah mengapa kita harus mengambil pelajaran agar sejarah buruk tidak terulang,” pungkasnya. (cie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar