Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 4 : Utamakan Keteladanan dalam Mendidik Anak


Setiap orang tua pasti bahagia memiliki anak-anak sarat prestasi dan berbakti. Tak terkecuali Siti Baroroh Harsito, ibunda Hanna Fauziyyah Hanifin, peraih medali perunggu dalam “8th International Junior Science Olympiad (IJSO) 2011″ di Durban, Afrika Selatan. Bagaimana cara janda berputra tiga ini dalam mendidik anak-anaknya? 

Ketika ditanya tentang kiat-kiat mendidik anak, istri almarhum Harsito ini terdiam sejenak. Seolah-olah, sebuah pertanyaan yang sulit bagi perempuan berkerudung kelahiran 31 Maret 1965 ini. Dia mengatakan ketiga putranya itu anugrah yang diberikan Tuhan padanya.

“Mendidik anak itu butuh ketelatenan,” tuturnya seraya menerawang menembus kaca jendela ruang tamu mungil di rumahnya yang teduh.

Menurut PNS Promosi Kesehatan Masyarakat (PKM) di Puskesmas Rembang ini, kesamaan visi dan misi dalam mendidik anak serta komitmen bersama antar suami dan istri sangat penting. Mereka bahu-membahu memberikan keteladanan kepada anak-anak.

“Semasa hidupnya, suami saya suka sekali membaca. Jadi anak-anak, terutama Hana, sangat suka membaca. Saya suka baca, tapi tidak sampai hobi seperti suami dan anak saya. Tapi saya tetap menanamkan gemar membaca pada anak-anak saya sejak kecil,” kisah ibu dari Silkya Nurul Hanifin, Hana Fauziyyah Hanifin dan Yudith Hafiz Rabbaul.

Keteladanan juga dilakukan saat jam belajar anak. Saat anak-anak harus belajar, Siti dan suaminya melarang anak-anak menonton televisi. Tapi, mereka sebagai orang tua juga konsekuen untuk juga mencegah diri mereka sendiri menonton televisi.

“Kan ada orang tua yang melarang anak-anaknya nonton tv, tapi orang tua itu tetap asik nonton sinetron. Nah ini yang kami sendiri tidak sreg. Saya sendiri memilih mendampingi anak belajar,” jelasnya.

Yang mula-mula dilakukan Siti lebih pada menanamkan rasa butuh belajar pada anak-anaknya. Karena seperti pada umumnya anak-anak, pada masa kecil, para buah hati Siti juga lebih senang bermain. Siti membebaskan anak-anaknya menikmati masa bermainnya. Tapi pada malam hari setelah Isya’, dia ajak anak-anaknya menyepakatinya sebagai jam belajar.

“Saat TK belum terlalu saya tekankan. Tapi sudah saya tanamkan cinta buku. Biasanya mereka minta diceritakan isi buku itu, dan saya harus telaten membacakannya. Baru saat masuk kelas 1 SD, saya ajak teratur belajar,” imbuhnya.

Akibat penanaman minat belajar sejak dini, anak-anak Siti tumbuh perasaan butuh belajar. Seolah-olah, selalu ada yang kurang lengkap jika sehari tak belajar. Sehingga, secara mandiri, saat masuk jam belajar, tanpa disuruh, anak-anaknya langsung menuju meja belajar masing-masing.

“Pernah anak saya yang paling besar, Silkya. Karena kecapean, sore harinya ketiduran sampai malam. Saat bangun tengah malam dia menangis karena belum belajar. Padahal tidak ada ulangan atau tes,” kisahnya.

Menurut Silkya, semasa kecil, ayahnya, Harsito, sering mengajaknya dan Hana berjalan-jalan menyusuri keindahan alam di sekitarnya. Sang ayah yang peraih gelar cum laude saat menamatkan sarjana biologinya di UNSOED, sering menjadikan acara jalan-jalan itu sebagai tur pembelajaran sains.

“Misal lihat air terjun. Bapak akan tanya kenapa air turun dari atas ke bawah? Lalu dia ceritakan tentang gaya gravitasi. Atau saat lihat kupu-kupu, bapak akan menceritakan tentang metamorfosis. Sehingga, dari kecil, kami memang sudah suka sains,” ujar mahasiswi semester 7 Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), perguruan tinggi kedinasan program D-IV, yang dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Lihainya sang ayah dalam mengenalkan sains dengan cara yang asik, membuat Silkya dan Hana tergila-gila pada sains sekaligus sangat dekat dengan sang ayah. Tak heran jika Hana yang konon paling mirip sang ayah, langganan juara Olympiade Sains, terutama di bidang Biologi.

Siti sebagai istrinyapun, selalu mengidolakan suami tercinta yang selalu seiya sekata dalam mendidik anak.Hanya saja, Tuhan memiliki rencananya sendiri. Tahun 2006, maut menjemput Harsito, setelah beberapa waktu berjuang menghadapi penyakit jantung. Saat itu Silkya duduk di bangku kelas 1 SMA, Hana masih kelas 3 SD. Bahkan, si bungsu Yudith, masih dalam kandungan Siti. Kepergian Harsito, memukul perasaan kedua putrinya dan tentu saja Siti sebagai istrinya yang hampir mengadapi persalinan.

“Tapi saya harus kuat, tegar. Saya harus melanjutkan amanah mendidik, membesarka sekaligus membiayai ketiga anak saya,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

Untungnya, penanaman kemandirian yang dilakukan Harsito dan Siti semenjak kedua putrinya masih kecil mulai berbuah. Silkya dan Hana tumbuh menjadi gadis sholehah yang sangat penurut pada sang ibu, gemar belajar dan dimudahkan Allah dalam meraih beasiswa.

“Alhamdulillah, saya tak mengeluarkan biaya untuk dua putri saya itu. Silkya diterima di STIS yang gratis dan jaminan jadi PNS. Hana karena berbagai prestasinya juga dapat beasiswa full di SMA Semesta Bilingual Boarding School dan belum lama oleh sekolahnya dikirim belajar ke Turki,” jelasnya bangga.Siti juga tak pernah kerepotan menghadapi rengekan anak yang meminta ini dan itu. Silkya dan Hana tak terbiasa jajan sejak kecil.

Sebagai gantinya, Siti harus menyiapkan berbagai camilan sehat di rumah dan bekal untuk sekolah. Mereka juga anak-anak rumahan yang manis dan kerap membantu pekerjaan rumah tangga tanpa dikomando. Benar-benar anak-anak yang menyenangkan hati orang tua.

“Anak saya yang paling kecil, Yudith, memang tak merasakan kasih sayang bapaknya, tapi pola pendidikannya saya upayakan semirip mungkin yang diterima kakak-kakaknya. Ya mudah-mudahan dia bisa berprestasi seperti kakak-kakaknya,” harapnya.

Secara genetika, pasangan Harsito dan Siti Baroroh memang unggul dalam akademik. Keduanya juga mengenyam pendidikan sarjana. Tapi, tanpa ketelatenan, kerja keras, dan komitmen bersama dalam mendidik anak, mungkin ceritanya akan lain. Ya, memperoleh anak yang berprestasi dan berbakti memang bukan sim salabim. (cie).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar