Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 15 : Bakul Plembungan yang Beromzet Belasan Juta Rupiah Sebulan


Sumaryo memang bukan siapa-siapa. Dia hanya penjual balon keliling yang sangat senang melihat tawa ceria anak-anak setelah membeli balon darinya. Siapa sangka, balon-balon ini telah mengantarkannya menjadi usahawan yang beromzet belasan juta rupiah sebulan.


Terlahir dari keluarga sangat miskin, Sumaryo kecil tak bisa nikmati pengasuhan yang layak sebagai anak-anak. Ibunya merantau ke Tasikmalaya, ayahnya tak pernah di rumah karena sibuk berdagang mainan. Tak ada yang peduli anak kedua dari empat bersaudara ini sekolah atau tidak.

“Tapi saya ingin sekali sekolah. Makanya, usia mungkin masih kecil sekali, tapi saya sudah berani berdagang. Jadi dari Tk sampai SMP, saya biayai sekolahnya sediri,” tutur lelaki kelahiran 25 Juni 1966 ini yang mengaku sudah berjualan balon sejak usia kanak-kanak.

Maryo mengaku tak pernah malu berjualan balon keliling di saat teman-teman seusianya asyik bermain. Jika dia masuk sekolah pagi, berjualan balon dilakoninya siang hingga sore hari. Sebaliknya jika giliran masuk siang,
Maryo tak sungkan berjualan pagi hari.

Saat usia 11 tahun, berbekal sekantung balon, Maryo dengan bercelana pendek nekad merantau ke Danau Toba, Sumatera Utara. Baru setahun, Maryo remaja memilih pulang kampung dan kembali bersekolah hingga lulus SMP.

“Tapi, lulus SMP saya merantau lagi, hampir keliling Indonesia. Jakarta, Surabaya, Bandung, Sulawesi, Bali sampai Kalimantan. Yang belum mungkin cuma Papua dan Nusa Tenggara,” tutur lelaki yang pernah menikah dua kali ini dan dikaruniai enam orang anak dari kedua istrinya.

Hidup merantau hanya berjualan balon, memang tidak mampu membuat kehidupan Maryo lebih baik. Bahkan setelah dia menikah dan dikaruniai empat putera, sang istri tega mengkhianati. Kabar perselingkuhan sang istri dia dengar dari kedua orang tuanya yang kebetulan melihat dengan mata kepala sendiri perilaku negatif sang istri.

“Saya pulang merantau dapat kabar seperti itu. Lalu saya tanya sama istri, dia marah dan memilih meninggalkan saya dan pergi bersama lelaki pilihannya. Dia juga meninggalkan anak-anak kami yang masih kecil-kecil tanpa sedikitpun tanggung jawab,” kenangnya pilu.

Keempat anaknya akhirnya dia titipkan kepada orang tuanya yang mulai jompo. Sementara, Maryo kembali merantau untuk bekerja lebih keras lagi menghidupi keempat buah hatinya.

Sampai suatu ketika, saat dia berjualan di Pasar Gombong, kebumen, dia bertemu dengan seorang gadis yang tak lagi belia. Gadis itu membantu usaha kelontong kakaknya, dan kebetulan Maryo berjualan balon di depan kiosnya.

“Lama-lama saya suka dan saya yakin, kali ini pilihan saya tidak salah. Dia sepertinya wanita yang baik,” tuturnya.
Perkiraan Maryo memang tidak meleset. Siti Hartati yang dinikahinya tanpa kehadiran keluarga Maryo, benar-benar seorang perempuan yang sangat menerima Maryo apa adanya. Hartati bersedia mengasuh anak-anak yang ditinggalkan mantan istrinya, bahkan di kala Maryo merantau sekalipun. Hartati juga sangat setia menemani Maryo dalam suka dan duka.

“Tapi ada masa dimana saya sudah sama sekali tidak sanggup mengurus anak-anak. Kami sangat miskin, untuk makan susah apalagi menyekolahkan anak-anak. Terpaksa dua dari empat anak suami saya, saya titipkan ke panti asuhan,” tutur Hartati yang telah memberikan dua orang anak dari hasil pernikahannya dengan Maryo. 

Kehidupan terus berjalan. Melalui Hartati, kehidupan Maryo berubah. Suatu sore, saat Hartati berjualan balon sabun di Alun-alun Purbalingga, seorang pegawai bank syariah mendekatinya dan memesan balon udara untuk peresmian kantor cabangnya.

“Saya ya terus terang, kalau saya nggak punya karena saya jual ‘plembungan’ biasa yang nggak bisa terbang. Eh, si mas itu malah nawarin saya, mau dimodalin apa nggak. Siapa yang nggak mau? Ya saya sanggupi saja. Nggak nyangka diberikan 3 juta,” kenang Hartati.

Uang sebanyak Rp 3 juta itu dia belikan tabung gas untuk mengisi balon agar bisa terbang. Sisanya untuk membeli balon sesuai pesanan. Setelah acara peresmian, Hartati masih belum melanjutkan penjualan balon terbang.

“Saya ditanya lagi sama mas-mas itu, lho kok belum mulai jualan. Saya bilang nggak ada uang untuk beli balon. Eh, mas itu kasih saya uang lagi, 2 juta. Sejak itu, sedikit demi sedikit dagang balon ini ada hasilnya,” imbuhnya lagi.

Hanya tempo sebulan, Hartati dan Sumaryo berhasil mulai menyicil pinjamannya. Bahkan tak sampai setahun, hutang-hutangnya sudah lunas. Sudah tak terhitung berapa banyak pemuda yang bekerja dengannya dan terentas dari pengangguran. Dan sudah banyak dari para pekerjanya, kini menjadi suplier balon yang memiliki banyak sales seperti dirinya.

“Saya nggak merasa tersaingi. Malah saya senang, saya sudah banyak membantu orang nganggur,”kata Maryo.
Setiap bulan Ramadhan hingga Lebaran, omzet penjualan balonnya meningkat tajam. Jika di hari-hari normal dengan lima pekerja, sekitar Rp 7 juta hingga Rp 9 juta masuk ke kantongnya, pada bulan Ramadhan hingga lebaran, ada 17 sales yang memberikannya keuntungan mencapai puluhan juta rupiah dalam sebulan.

“Pertama kami juga kaget. Dalam sebulan keuntungan sudah bisa saya sisihkan untuk beli lemari. Sebulan kemudian bisa beli kulkas, trus selanjutnya spring bed, motor, rumah...semua kebutuhan yang tidak mungkin kami beli selama ini bisa kami beli,” ungkapnya penuh syukur.

Meski kehidupan Sumaryo dan Hartati sudah lebih sejahtera, keduanya memilih hidup serba bersahaja. Mereka tidak pernah memikirkan untuk memperindah rumah dan isinya Mereka juga berpenampilan seperti sebelum menikmati keberhasilan seperti sekarang.

Tetapi keduanya bukanlah orang yang kikir. Kepada para pekerjanya, sepasang suami istri ini sangat royal. Setiap pagi sebelum para pekerjanya berpencar, sarapan pagi, kopi dan rokok sudah disiapkan. Uang makan siang juga selalu diberikan. Bahkan sepulang bekerja, dan kembali ke rumah Sumaryo, para pekerjanya itu dipersilahkan makan lagi sepuasnya.

Sumaryo juga tidak pelit memberikan balon kepada anak-anak yang bermain di rumahnya. Tak heran jika hampir setiap hari, rumahnya selalu kedatangan para tamu cilik ini. Sumaryo tak pernah mau menerima uang bayaran balon dari para orang tua anak-anak ini. Sumaryo memang dikenal baik di lingkungannya.

“Kalau saya jualan, ada anak yang merengek minta balon tidak dibelikan orang tuanya dengan alasan orang tuanya nggak punya uang. Saya sedih kalau melihat anak kecil sedih,” imbuhnya. Hal ini juga dia terapkan kepada anak buahnya. Tapi, Sumaryo tetap mengganti uang balon meskipun si anak tadi tidak membayar. (cie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar