Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 9 : Sahabat Anak Muda yang Selalu Ngrumangsani


Tak banyak orang yang mau menekuni kegiatan sosial hingga 20-an tahun lamanya. Menjadi anak yatim di usia dua tahun dan kerap menyaksikan kehidupan tragis para korban bencana yang dibantu PMI, membuat lelaki murah senyum ini memiliki kepribadian matang dan cara berpikir yang logis sejak usia sangat muda.




Memiliki orang tua tunggal seringkali menjadi alasan anak muda untuk bersikap memberontak dan semaunya sendiri. Tapi tidak bagi pemilik nama Rukmawan Suci Laswono ini. Sejak kecil, Wawan, begitu dia akrab disapa, kerap hidup prihatin dan tak sedikitpun terbersit keinginan menjadi anak nakal.

“Saya kasihan aja sama ibu kalau saya macam-macam. Ibu selalu menasehati saya untuk bisa ngrumangsani. Ngrumangsani anake wong ora ndhuwe, ngrumangsani anak ora ndhuwe bapak,” ujar bungsu tiga bersaudara dari pasangan Alm Suharjo dan Siti Paryati yang berdomisli di Jl Pasukan Pelajar Imam, belakang Kantor Kejaksaan Negeri.

Sejak sang ayah meninggal dunia di tahun 1978, ibunya seorang diri banting tulang dengan membuka warung kecil-kecilan di rumah. Wawan kecil dan kedua kakaknya yang masing-masing hanya seilisih dua tahunan, sering membantu ibu jualan dan kulakan ke pasar.

Saat SMA, Wawan meminta sang ibu untuk berhenti berdagang karena tak tega melihat ibunya kelelahan. Wawan yang kreatif dan memiliki jiwa seni yang tinggi membiayai kehidupannya sendiri dengan sang ibu, dari hasil bergabung dalam usaha jasa dekorasi pengantin.

“Saya juga sering diminta melukis sketsa wajah orang, lumayanlah. Dari hasil dekor dan menggambar, saya tabungkan. Saya hanya ambil sedikit – sedikit untuk kebutuhan saya dan ibu. Karena dekor dan menggambar kan nggak setiap hari ada,” tutur suami dari dr Khusnul Muflikhah dan ayah dari Hilmi Fitra Ramadana.

Selulus SMA, Wawan ingin melanjutkan kuliah seperti teman-teman seangkatannya. Kondisi ekonomi tak sedikitpun membuat pecinta pecel ini gusar. Dengan ketrampilannya menguasai komputer yang pada masa itu tidak banyak orang mampu mengoperasikannya, membuka peluang Wawan menjadi guru les komputer.

“Saya juga banyak usaha kecil-kecilan dengan teman. Uang dari mengajar les komputer dan usaha ini ditambah tabungan selama SMA, saya gunakan untuk kuliah dan tetap dengan membiayai hidup ibu,” ujar aktivis kemanusiaan kelahiran Bogor, 10 Oktober 1976 ini.

Karena tak tega meninggalkan ibunya sendiri di rumah disamping juga untuk menghemat pengeluaran, Wawan yang diterima kuliah di Fakultas Ekonomi UNSOED memilih tidak tinggal di kost. Setiap kuliah, jika tidak membonceng temannya yang kuliah di tempat yang sama, Wawan memilih bersepeda dari Purbalingga – Purwokerto setiap hari yang satu kali perjalanannya membutuhkan waktu sekitar 45 menit.

“Ya nggak cape, udah biasa. Saya nikmati saja,” imbuh pengagum Jusuf Kalla ini.

Selain kuliah dan kerja, Wawan juga selalu disibukkan dengan kegiatannya di Palang Merah yang telah ditekuninya sejak SMA. Apakah ini yang membuat Wawan menamatkan kuliah S1-nya cukup lama, yaitu sekitar 6 tahun?

“Sebenarnya baik kerja maupun palang merah sama sekali tidak mengganggu kuliah. Sebaliknya malah mendukung. Tapi saat seangkatan saya KKN, saya terpaksa tidak ikut karena tidak ada dana. Saya agak sedih juga meskipun tahun depannya akhirnya bisa ikut juga,” kenangnya.

Telah lebih dari 20 tahun Wawan aktif di Palang Merah. Bermula dari arahan sang sepupu yang bersekolah di SMA N 16 jakarta yang dikenal paling maju PMR-nya. Mendengar cerita dan motivasi dari sepupunya itu, Wawan memantapkan diri bergabung di PMR saat SMA. Setahun kemudian, PNS Bapermas yang pernah bekerja di sebuah koperasi ternama di Purbalingga ini dinobatkan menjadi Ketua PMR SMA Negeri 1 Purbalingga periode 1991-1992.

“Saya merasa cocok dengan kegiatan kemanusiaan di Palang Merah. Apalagi setelah saya masuk, banyak sekali kegiatan turun ke lapangan karena banyaknya bencana saat itu. Saya beruntung sekali karena merasa berguna dan mendapatkan pengalaman yang tidak semua orang bisa mendapatkannya,” kata relawan PMI yang sering melakukan evakuasi korban bencana.

Selama ini, di PMI Purbalingga Wawan lebih banyak diamanahi untuk membina generasi muda melalui kegiatan ekstra kurikuler PMR di sekolah. Tak heran jika, banyak anak-anak sekolah dari generasi ke generasi yang mengenalnya akrab.

“Saya merasa eman-eman, kalau anak-anak muda yang tengah mencari jati diri ini tidak diarahkan nanti bertemu dengan orang-orang atau lingkungan yang tidak baik jadi terbawa tidak baik,” tambahnya.

Keluwesannya dalam bergaul dengan anak-anak muda membuat para remaja itu menjadikan Wawan sebagai sahabat dan kakak yang bisa diajak curhat. Wawan selalu sigap ketika ada diantara adik-adik PMR-nya itu mengalami masalah dan butuh nasehatnya. Tak heran jika lelaki berusia 36 tahun ini terlihat tak banyak berubah dari perfomanya dua puluh tahun yang lalu.

“Saya ingin remaja ini berkembang sebagaimana mestinya, terarah dan dapat mencapai cita-cita. Jangan sampai hidup yang sulit membuat mereka memilih jalan yang salah,” ungkap lelaki yang mengaku jarang mengeluh dan selalu ceria dalam kondisi sesulit apapun. (cie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar