Ketika berbicara tentang sejarah Purbalingga, kita tak akan bisa meninggalkan nama Tri Atmo. Meskipun seringkali dipercaya pemerintah untuk menyusun buku sejarah, wartawan sekaligus penulis kawakan ini mengaku tak pernah menutupi kenyataan seburuk apapun dibalik sebuah catatan masa lampau.
Ketertarikan
lelaki kelahiran 5 Juni 1940 ini pada sejarah, bermula saat dia menjadi salah
satu jurnalis Harian “Suluh Marhaen” tahun 1966 terbitan Yogyakarta. Dari
wawancara dengan para pelaku sejarah, Tri Atmo muda menjadi semakin penasaran
dan terobsesi menyibak selubung-selubung sejarah yang seringkali tak terungkap.
Gayung
bersambut. Tahun 1968, Jawatan Penerangan mempercayakan pembuatan buku silat
berlatar belakang catatan sejarah kepadanya. “Sotya Ludira”, begitu nama buku
yang dicetak sekitar 300-an copy
dengan harga Rp 50,- per eksemplarnya.
“Penjualan
perdana sukses, akhirnya saya diminta membuat serialnya. Jadi saya buat jilid
kedua, dan ternyata habis terjual juga,” ungkapnya bangga.
Meski
pada jilid ketiganya juga sold out,
Tri Atmo tak lagi meneruskan pembuatan buku itu. Hal itu semata-mata karena
tidak lancarnya sirkulasi dan distribusi disebabkan agen-agen yang tidak
amanah.
Tak
lagi menulis buku bukan berarti berhenti berkarya. Tri Atmo semakin aktif
menggeluti profesinya sebagai wartawan. Padahal situasi politik saat itu masih
sangat tak menentu. Bahkan Tri Atmo pernah dikepung oleh sekelompok pemuda
terkait tulisannya tentang PKI.
“Saya
dikira orang PKI, hanya gara-gara saya mengangkat kebenaran dibalik peristiwa G
30 S PKI,” tutur lelaki yang pernah mengenyam pendidikan jurnalistik tahun 1959
dan aktif di Kantor Berita Antara Purwokerto hingga tahun 1969.
Berbagai
peristiwa buruk ditambah kondisi negara yang tidak jelas, membuat Tri Atmo
memilih mundur dari dunia pers. Dia menyibukkan diri mengumpulkan berbagai data
seputar sejarah yang menggelitik rasa ingin tahunya.
Perjalanan
panjangnya dalam mengumpulkan berbagai dokumen sejarah menuai hasil. Tahun
1984, dia sukses menerbitkan buku berjudul “Babad dan Sejarah Purbalingga”.
Buku yang didanai oleh Bagian Kesejahteraan Sekretariat Wilayah Daerah
(Setwilda) Kabupaten Daerah Tingkat (Dati) II Purbalingga ini, dicetak sebanyak
500 eksemplar dan dibagikan gratis ke sekolah-sekolah sebagai bahan
pembelajaran.
“Tahun
1993, Jenderal Haryo Darmoko salah satu keturunan Arsantaka meminta saya
membuat buku berjudul ‘Mengenal Purbalingga’ yang diperbanyak hingga 1000
eksemplar,” imbuhnya melengkapi.
Pada
masa Kepemimpinan Triyono Budi Sasongko, suami dari Sudiyah ini kembali
dipercaya membuat buku berjudul “Kilas Sejarah Purbalingga” untuk menandai Hari
Jadi Kabupaten Purbalingga ke-178 di akhir tahun 2008. Terakhir di tahun 2013
ini, dia juga menyusun buku serupa dengan judul “Ki Arsantaka” atas prakarsa Komunitas Pecinta Sejarah dan
Budaya Purbalingga yang mana dia sendiri ditunjuk sebagai ketuanya.
Selain
buku-buku sejarah, mantan reporter sebuah radio AM di Purbalingga ini juga
pernah membuat buku kumpulan cerita berbahasa Banyumas. Buku setebal 100
halaman itu dia beri judul “Dablongan” yang diterbitkan oleh putra daerah yang
cukup sukses di ibukota, Purbadi Hardjoprajitno.
Ungkap Apa Adanya
Kejujuran
menjadi salah satu hal terpenting dalam penulisan buku sejarah bagi Tri Atmo.
Menurut Tri Atmo, penulisan buku sejarah acapkali terpengaruh oleh kepentingan
politik si penulis atau promotornya. Sebagai contoh, bagi Belanda, sosok
Diponegoro akan diilustrasikan sebagai sosok yang sangat bejat dan
membahayakan. Tapi bagi warga Indonesia, Pangeran Diponegoro tentu saja seorang
pahlawan yang tegas dan gagah berani.
Bagi
Tri Atmo, baik buruk suatu sejarah seharusnya ditulis apa adanya. Sebagai
contoh, saat menulis Sejarah Kabupaten Purbalingga, dirinya tak pernah menutupi
sosok Arsantaka yang lebih pro Belanda sehingga mendapatkan banyak kemudahan
dalam hidupnya. Baginya, kalau memang kenyataan semacam itu, mengapa harus
ditutupi.
“Bapak
saya seorang PKI. Itu kenyataannya. Tapi saya tidak amsalah, lha wong itu
sejarah. Bagaimanapun dia bapak saya, saya harus menghormatinya,” jelasnya.
Yang
terpenting bagi pecinta tahu mentah ini, apa yang tercatat dalam sejarah sudah
sepantasnya diambil hikmahnya, diambil pelajarannya. Sehingga sesuatu yang bruk
dapat diantisipasi. Sesuatu yang baik,, dapat dimaksimalkan.
“Karena
sejarah itu biasanya terulang, tentu dalam versi yang berbeda. Itylah mengapa
kita harus mengambil pelajaran agar sejarah buruk tidak terulang,” pungkasnya.
(cie)