Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 20 : Prasojo Pangruwating Rubedho


Sosok sederhananya membuat orang yang belum mengenal Soedino mengira kakek enam cucu ini bukanlah siapa-siapa. Bagi mantan Kepala Dinas Pendidikan yang memiliki bisnis warung makan, laundry dan kost-kosan, kesederhanaan akan menjauhkan dari berbagai masalah. Prasojo Pangruwating Rubedho.


“Coba saja, kalau ada pegawai baru, di hari pertamanya ke kantor pakai mobil keluaran terbaru, pasti akan jadi omongan. Dan yang jelas, akan langsung panen musuh dan masalah,” ujar mantan pejabat eselon II di Lingkungan Pemkab Purbalingga yang purna tahun 2001.


Kesederhanaan Soedino juga terlihat saat masih duduk di pucuk pimpinan Dinas Pendidikan menjelang pensiunnya. Waktu itu, mobil dinas yang menjadi haknya digunakan Dinas Luar oleh stafnya. Tanpa sungkan, Soedino berangkat kerja naik sepeda onthel dari rumahnya di Karangsentul ke Dinas Pendidikan di Bancar sambil mengantarkan istrinya yang berdinas di DKK (saat DKK Masih berada di Gedung BKD saat ini-red).

Meski kesederhanaannya sering dipuji, tak sedikit pula orang yang mencemooh. Mungkin kalau pada masa sekarang, dianggap tengah melalukan politik pencitraan. Tapi Soedino bergeming dengan berbagai tanggapan miring.

Tempaan kehidupan yang serba prihatin, membuat Soedino memilih kehidupan yang serba sederhana. Pernah suatu ketika, saat dia masih menjadi Mantri Polisi Pamongpraja (MPP) di Kecamatan Padamara sekitar tahun 1974, Soedino hidup serba kekurangan. Di gubug kontrakannya yang reyot, di tengah gulita malam yang hanya di terangi lampu teplok yang hampir habis minyaknya, Soedino menahan lapar setelah dua setengah hari tidak makan apapun.

 “Setiap ditanya istri, sudah makan belum. Saya jawab, sudah di rumah Pak Lurah. Padahal, saya belum makan sama sekali. Tapi karena saya tahu di rumah, makanan juga hanya cukup untuk istri yang sedang menyusui, lebih baik saya yang tidak makan,” ujar suami dari Sri Murwati yang pada saat itu telah bekerja sebagai bidan desa.

Pada pukul 10 malam, di tengah tubuh yang lunglai, tiba-tiba pintu gubugnya diketuk orang, Rupanya Pak Camat. Dalam hati Dino memutuskan untuk berterus – terang akan pinjam uang pada Pak Camat. Padahal, Dino pernah berkeputusan untuk tidak pernah berhutang atau meminta pada siapapun.

“Tapi, kondisi yang serba sulit seperti itu, apalagi saya dan istri sama-sama perantau, tak ada pilihan lain selain berhutang. Sayapun bersiap-siap untuk berterus terang pada Pak Camat,” tutur pria kelahiran Yogyakarta, 1 April 1945 ini.

Belum sempat terucap sepatah katapun, tiba-tiba Pak Camat menyerahkan uang kepada Soedino senilai Rp 4.500,- atau senilai 10 gram emas saat itu. Menurut Pak Camat, itu adalah hak Soedino yang tidak pernah diambilnya selama ini. Padahal, biasanya Mantri Polisi lainnya, secara teratur mengambilnya.

“Saya terdiam, kaget dan nggak bisa bicara apa-apa. Saya malah nangis, sampai Pak Camat bingung. Lalu saya cerita, kalau sebenarnya saya baru mau nembung pinjam uang karena sudah dua hari tidak makan. Langsung Pak Camat marah-marah. Beliau bilang, Kebangeten! Kalau kamu sampai mati, kan aku yang harus tanggung jawab,” kisahnya.

Soedino-pun tetap bisa menjalankan prinsipnya untuk tidak berhutang. Termasuk saat dia memulai berbagai usaha kecil-kecilan. Mulai dari dagang kain jarit, dedak (pakan ayam), papan tulis, hingga kini dia memiliki berbagai usaha seperti warung makan, laundry dan kost-kosan yang dijalankan ketiga putranya.

“Karena saya kan pengen jadi orang yang lurus, jujur dan ikhlas dalam bekerja. Konsekuensinya gaji PNS saya nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Mau tidak mau saya harus usaha. Tapi gimana caranya tidak dengan hutang,” imbuh Ketua Koperasi Bhakti Praja yang telah menjabat selama hampir 30 tahun ini.

Karena tidak ingin berhutang, modal betul-betul didapatnya dari uang yang ada. Strateginya, Soedino dan istri jadi rajin puasa agar irit pengeluaran makannya. Anak-anaknya juga tidak pernah dibelikan sesuatu yang sifatnya tidak mendesak.

“Sampai-sampai anak-anak mengatai saya bapak yang paling pelit sedunia, hahaha…” kenang ayah tiga putra yang selalu aktif di berbagai organisasi ini.

Meski telah lebih dari 10 tahun purna tugas, Soedino masih sering terlihat di berbagai kegiatan. Kakek enerjik yang gemar olah raga dan tidak berpantang makan apapun ini pernah tercatat menjadi ketua di sembilan organisasi sosial sekaligus beberapa diantaranya Dewan Pendidikan, PWRI, Hipprada Pramuka dan Yayasan SLB.

“Saya memang suka organisasi sejak kecil. Selain selalu menjadi ketua kelas saat masih SR (sekarang SD-red), umur 10 tahun saya sudah pidato di desa lain. Waktu SMP dan SMA, saya juga jadi ketua semacam Ketua Osis, sampai lulus SMA, juga aktif di GMNI,” jelas lelaki yang juga pernah menjadi aktivis Darul Islam, Ketua Sinoman dan Ketua Persatuan Sepakbola di Kota Gudeg semasa remaja.

Atas desakan sang kakak, Soedino yang sedang menikmati kualiah di Jurusan Pemerintahan Gama (sekarang UGM-red), terpaksa pindah ke APDN Semarang. Alasan utama keluarga, agar mudah bekerja karena masih ikatan dinas.

Meski terpaksa, Soedino justru semakin bersinar. Selain sebagai Ketua Ikatan Mahasiswa Pamong Praja Indonesia (IMAPI), pria yang pernah gagal diterima di Sekolah Guru Menengah karena tinggi badannya kurang, justru menjadi mahasiswa dengan nilai terbaik.

“Karena tiga besar, saya dipersilahkan memilih mau ditempatkan dimana. Saya pilih Banyumas karena saya cocok dengan orang-orang yang terus terang atau cablaka ala banyumasan,” ujar lelaki yang menyakini orang-orang ngapak lebih manut dengan pimpinannya dibanding orang – orang wetan.

Tapi karena ketiga sahabatnya di APDN yang putra wedana juga memilih Banyumas, Soedino diam-diam tanpa sepengetahuan temannya, beralih ke Purbalingga. Toh, masih sekultur Banyumas.

Di Purbalingga inilah, Soedino mengembangkan karir, bertemu jodoh dan orang-orang yang sevisi dengannya. Baginya prisip kesederhanaan harus tetap dijunjung tinggi, disamping kejujuran dan keikhlasan dalam bekerja.

“Tidak usah khawatir dengan jabatan ataupun uang. Yang penting bekerjalah ikhlas, jujur dan disiplin. Kalaupun karenanya kita tak dapat apa-apa, tetaplah disyukuri. Insya Allah, ra ketemu awak, ya ketemu anak. Ora nang dunya, yo nang akherat,” pungkasnya. (cie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar