Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 10 : Cita-cita Tinggi Seorang Loper Koran


Mudah sekali mengenali sosok perempuan supel yang selalu ceria ini. Yah, Riyati namanya. Perempuan berkerudung yang menjadi satu-satunya perempuan dengan profesi sebagai loper Koran di Kota Perwira. Siapa sangka, dibalik kehidupannya yang berat, bersama sang suami, Riyati mampu mendidik ketiga anaknya menjadi anak-anak yang sopan dan bintang kelas di sekolah-sekolah favorit. 




“Assalamu’alaikum!”
Sosok gadis kecil berkerudung memasuki salah satu ruang di kantor itu seraya menyodorkan koran kepada salah seorang PNS. Tanpa sungkan, disalaminya seluruh pegawai yang ada di ruangan tanpa kecuali. Seusainya, tak lupa diucapkan kembali salam perpisahannya, “Assalamu’alaikum!”, seraya menghilang di balik pintu.

Gadis itu bernama Intan Setyowati. Sepulang sekolah di Kelas 4 SD N Purbalingga Lor 1, putri bungsu pasangan Riyati dan Supardi ini kerap membantu sang ibu mengantarkan koran ke ruang-ruang di perkantoran. Tak disangka, perempuan kecil yang lugu nan sopan ini langganan juara kelas.Begitu juga dengan kedua kakaknya, Wahyu Setiawan yang kini telah kuliah di FKIP Jurusan Pendidikan Olahraga UNS Solo dan Conni Setyorini yang duduk di kelas X SMA Negeri 1 Purbalingga.

Mereka hampir selalu memiliki nilai tertinggi di kelasnya. Apa rahasianya?

“Sejak kecil, saya didik anak-anak untuk disiplin, mandiri, memiliki semangat dan kesadaran untuk belajar, tanpa harus dipaksa-paksa,” ujar Riyati dengan senyum ramah yang menjadi ciri khasnya.

Seperti saat putra sulungnya, Wahyu, sekolah di TK Bhayangkari. Setelah jam lima pagi bangun, mandi dan sarapan, jam enam pagi anak kelas Nol Besar ini berangkat sendiri ke sekolah dari rumahnya di Jl Wirayuda Purbalingga Kidul RT 2 RW 6 ke TK Bhayangkari atau dikenal dengan TK Semut di Jl Komisaris Noto Sumarsono (Tangsi).

Atau saat putrinya, Conni, mulai tertarik untuk membaca saat usianya masih 4 tahun. Dengan telaten, selama sebulan penuh, sang buah hati diajarinya membaca. Setelah itu, Conni dnegan sendirinya belajar. Bahkan saat usia 5 tahun, Conni sudah lihai membaca koran return yang menumpuk di rumahnya. Bahkan, saat itu Conni sudah mampu membaca koran dalam keadaan terbalik.

Riyati juga membebaskan anak-anaknya untuk bersekolah dimanapun mereka inginkan. Meskipun harus sekolah di sekolah favorit yang dikenal berbiaya tinggi. Riyati juga memotivasi anak-anaknya untuk sekolah setinggi-tingginya, bagaimanapun kondisi perekonomian kedua orang tuanya.

“Ada memang orang-orang yang bilang ke saya, supaya jangan ‘ngoyo’ dalam menyekolahkan anak. Jangan memaksakan diri, namanya orang nggak mampu. Tapi saya yakin, akan selalu ada pertolongan selama kita mau berusaha,” ucap ibu empat orang anak ini.

Kehidupan ekonominya yang serba kekurangan tak menyurutkan semangat Riyati dan suaminya, Supardi, untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi yang mereka mampu.

Justru, kehidupan yang sulit itulah mendorongnya untuk mengantarkan anak-anaknya menjadi orang yang mulia di dunia dan akhirat. Dengan berbekal Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dan nilai-nilai akademik putra – putrinya yang selalu terbaik, tak sulit Riyati mengakses beasiswa untuk ketiga buah hatinya.

“Dulu, setelah lulus SD, saya ingin sekali melanjutkan sekolah. Tapi bapak saya yang tukang becak dan ibu yang dagang kecil-kecilan nggak sanggup. Saya sangat sedih. Makanya setelah saya menikah, saya tidak ingin anak-anak saya mengalami nasib seperti saya. Alhamdulillah, suami saya punya pemikiran yang sama,” ujar anak kedua dari lima bersaudara pasangan Riyadi dan Marsinah ini mengisahkan.Ujian kesabaran kerap dialaminya.

Seperti di pertengahan tahun 1999. Saat Supardi sedang bersepeda mengantarkan koran ke para pelanggan. Tiba-tiba ada seorang tukang sayur dengan sepeda onthelnya melaju cepat tanpa kendali dan menabrak Supardi hingga gegar otak.

“Kepala suami saya bocor. Ternyata tukang sayur itu, rem sepedanya blong. Akhirnya untuk sementara suami nggak bisa kerja. Padahal koran pelanggan juga harus tetap diantar. Jadi, sementara saya menggantikan suami menjadi loper koran,” kisahnya.Setelah suami sembuh dan mampu beraktivitas, Riyati justru semakin tekun berjualan koran karena pelanggan-pelanggannya semakin meluas dan terdesak kebutuhan.

Jadi, pasangan suami istri inipun sama-sama menjadi loper koran dengan areal yang berbeda.Tak hanya berjualan koran, pasangan suami istri inipun berdagang jajanan, minuman dan makanan kecil, baik di rumah maupun di gerobaknya yang mangkal di depan Rumah Bersalin Panti Nugroho setiap petang. Penghasilan mereka sepenuhnya untuk pendidikan anak dan kehidupan sehari-hari.

“Saya sampai nggak mikir kondisi rumah. Biarlah rumah jelek, kusam dan kurang terawat. Yang penting masih bisa ditinggali, dan anak-anak bisa sekolah dan meraih cita-citanya,” tuturnya lagi. (cie) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar