Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 6 : Penulis dan Pejuang Difabel yang Pantang Menyerah


Hidup dalam keheningan sejak SD, tak membuat Mukhanif Yasin Yusuf terpuruk. Sebagai tuna rungu, Khanif mampu membuktikan prestasi tak harus diukir oleh mereka yang memiliki panca indera lengkap. Bersama para pakar dan orang-orang yang peduli, mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM ini tengah berjuang menuntut hak kaum Difabel yang termarjinalkan.





Hari itu, tak akan lenyap dalam ingatan Khanif. Tanpa seijin orang tuanya, Khanif kecil pergi ke sungai di desa tetangga yang tak jauh dari rumahnya di Jambudesa Kecamatan Karanganyar. Saat asyik mandi, telinganya kemasukan air yang mengakibatkan bunyi dengung.

“Besoknya, bunyi dengung itu dah nggak ada lagi. Tapi saya juga mulai terganggu pendengarannya. Setahap demi setahap pendengaran terus berkurang hingga sama sekali nggak dengar apa-apa,” kisahnya pilu.

Menyadari telah kehilangan pendengarannya, selama tiga hari berturut-turut Khanif mengurung diri di rumah. Semua impian dan cita-cita, dia kubur. Seolah, tak ada lagi harapan dan masa depan. Sampai-sampai, anak kedua dari tujuh bersaudara ini memutuskan keluar sekolah, meski sudah kelas 6 di SD Negeri 1 Jambudesa dan sebentar lagi Ujian Nasional (UN). Dia tak kuat dengan ejekan teman-temannya.

“Yang saya rasakan yah, semacam kematian hidup, saya merasa tidak lagi hidup selayaknya seorang manusia. Saya merasa asing. Merasa pada dunianya yang entah apa. Gelap dan sunyi. Saya tak tahu harus melangkah dari mana,” kisah bujang kelahiran 11 Nopember 1990 yang masih lancar berkomunikasi dibantu tulisan.

Kedua orang tua Khanif sangat terpukul dengan kenyataan ini. Sang ibu terus-menerus menangis. Tapi perempuan paruh baya bernama Sopiyah ini terus membujuk agar Khanif mau melanjutkan sekolah.

“Ibu saya bilang, ‘Nek ora sekolah arep dadi apa?’. Bapak saya juga menasehati saya, bahkan murid-murid mengajinya yang sering ke rumah juga ikut membujuk saya agar tetap sekolah,” ujar anak lelaki tertua dari Lukman Yusuf, seorang wiraswasta yang juga ulama ternama di desanya.

Setelah dua tahun dalam keputusasaan, Khanif mulai bangkit. Dia kembali ke sekolah, menuntaskan pendidikannya dan kembali meraih impian-impiannya. Di tengah kesunyian itu, Khanif sering mengisi waktunya dengan menulis puisi. Hobi baru yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Suatu hari saat Khanif masih duduk di kelas 2 MTs N Karanganyar, Guru Bahasa Indonesianya memberi tugas menulis puisi. Tak disangka, gurunya sangat suka puisinya.

“Waktu itu guruku bilang, ‘Jangan buang puisimu, nanti mau Ibu kirim ke Jakarta.’ Perkataan guruku saat pelajaran bikin puisi itulah, yang membuatku semakin bersemangat buat nulis, terutama puisi,” ujarnya yang kini tak tahu dimana gerangan puisi yang dimaksud.

Sejak itu, Khanif semakin tekun menulis. Tak hanya puisi. Tapi juga cerita pendek, artikel, apa saja. Ternyata, ketekunannya tak sia-sia. Sederet prestasi mulai terukir. Sebagai contoh menjadi Finalis LKTI Penelitian Tingkat SMA/K LP2MP Jateng (2009), Harapan III KTI Tingkat SMA/K Badan Arpusda Jateng (2010), Finalis “I Am President” Wilayah Jateng-DIY PT CMC Global (2012) dan 10 Besar Lomba Cipta Puisi Nasional Forum Tinta Dakwah Award 2010 FLP Riau (2010).

Tak hanya itu, karya-karyanya juga diterbitkan dalam bentuk buku oleh penyelenggara lomba. Misal cerpen berjudul ‘Aku Seorang Tuna Rungu’ dalam Antologi cerpen  bersama “Hapuslah Air Matamu” (2010), ‘Cinta Sunyi di Tepian Serayu’ dalam antologi cerpen bersama “Wujudkan Mimpimu: Sebuah Episode Pengamen” (2011), dan masih banyak lagi lainnya.

Dari menulis, lulusan SMA Ma’arif NU Karanganyar ini juga termotivasi untuk membaca berbagai buku yang tentu saja semakin memperkaya khasanah keilmuannya. Tak heran jika temannya di jejaring sosial mengira Khanif ini seorang dosen karena wawasannya yang luas.

Lewat jejaring sosial juga Khanif mengenal banyak sekali orang, termasuk para sastrawan. Karya-karya Khanif mendapat apresiasi yang luar biasa dari para sastrawan, budayawan dan aktivis yang menaruh minat pada kaum Difabel berbakat. Karenanya, semangat dan harapan akan masa depan yang cerah semakin lekat di mata.

“Sebenarnya dulu aku sama sekali nggak kepikiran buat kuliah, apalagi masuk UGM. selain atas alasan kondisiku yang tuna rungu, juga ekonomi ortu yg gak mendukung. Tapi ortu bilang, ‘Kalau nggak kuliah, ilmumu akan sia-sia’. Jadilah ortu menyarankanku ke Unsoed agar saya nggak jauh dari ortu,” kisahnya.

Tapi, secara diam-diam, Khanif mendaftar di Universitas Paramadina karena ada jalur beasiswanya. Waktu menjelang pengiriman berka, barulah Khanif cerita ke kedua orang tuanya.

“Tapi reaksi ortu ternyata diluar dugaan. Mereka nggak mengijinkan, karena takut aku bakal terjebak liberal. Tapi aku nekat, karena aku disini ada beasiswanya dan aku nggak ingin menyusahkan ortu. Ternyata benarlah, ridho Allah ada pada ridho ortu, aku nggak diterima,” imbuh anak muda yang juga hobi berdiskusi ini.

Langkah selanjutnya, Khanif  mengikuti SNMPTN. Atas saran berbagai pihak yang peduli, Khanif disuruh milih UGM. Meski awalnya tidak diberi tahu lebih dulu, kedua ortu Khanif menyetujui. Alhamdulillah, Khanif menjadi satu-satunya dan mahasiswa tuna rungu pertama di UGM.

Tapi ujian kesabaran masih harus dihadapi Khanif. Dia gagal mendapatkan beasiswa Bidik Misi. Alhasil, sang ayah harus mencari pinjaman agar kuliah Khanif di UGM tetap berjalan baik. Bukan Khanif kalau akhirnya menyerah. Dengan tetap bersemangat, Khanif mencoba lagi menembus beasiswa Bidik Misi.

“Alhamdulillah, akhirnya aku dapat beasiswa penuh selama 4 tahun lewat Bidik Misi gelombang dua, tentunya berkat bantuan senior IPNU-IPPNU dan dosen-dosenku di Sastra Indonesia,” kata pengagum Helen Keller, sosok tuna netra, tuna rungu, dan tuna wicara yang sukses di Oxford, dan seluruh dunia.

Menjadi satu-satunya dan mahasiswa tuna tungu pertama di UGM, tak sedikitpun membuat Khanif minder. Dia justru bangga karena mampu bersaing dengan mereka yang memiliki panca indera lengkap. Dia bahkan tergerak untuk mendirikan Forum Mahasiswa Difabel dan Partener-UGM (FMDP-UGM) yang berjuang mengadvokasi kaum difabel dengan segala dinamikanya.

“Organisasi ini memiliki visi merubah stigma yang ada di masyarakat, yakni memandang difabel sebagai sumber masalah sosial. Kampanye difabel sebagai bentuk penyadaran masyarakat akan keberadaan difabel menjadi salah satu prioritas kami,” tegas aktivis PMII, BEM Fakultas, Kabar Mahasiswa (SKM) Bulaksumur dan Senat KM UGM yang kini ambisius mencalonkan diri jadi Presiden BEM KM UGM.

Menurut Khanif, mahasiswa sebagai sosok calon pemimpin masa depan bangsa kini menjadi target bidikannya untuk memiliki kesadaran terhadap difabel. Khanif yakin, 10-20 tahun ke depan, para mahasiswa inilah yang akan memberikan perubahan bagi negeri ini.

“Itulah yang membuatku mendirikan FMDP dengan melibatkan mahasiswa non-difabel sebagai relawan. Harapan saya, mahasiswa sebagai kaum intelektual, dapat berpikir secara cerdas dan obyektif,” jelas difabel yang sering mudik dari Jogja ke Purbalingga dengan mengendarai sendiri sepeda motornya. 

Khanif menilai pencapaiannya baru awalan. Dia masih ingin mewujudkan segala impiannya. Cita-citanya menjadi penulis, pengusaha, aktivis, birokrat, dan dosen sekaligus.Dan yang pasti, Khanif berharap masyarakat dan pemerintah lebih menghargai difabel.

Stigma ‘cacat’ yang dilekatkan kepada difabel, kata dia, seharusnya tidak ada. Dan ironisnya, penyebutan difabel sebagai sumber masalah sosial sudah menjadi hal yang umum dan dilegalkan oleh pemerintah dlm bentuk UU, sejajar dengan pekerja seks komersial, pengidap HIV/AIDS, dan anak gelandangan.

“Ini kan aneh. Kalau sebagai sumber masalah sosial, pertanyaannya apakah bisa dirubah, wong sudah jadi takdir?” tegasnya lagi.

Kepada sesama difabel, Khanif berharap, agar tetap melangkah, dan tidak rendah diri. Karena setiap manusia itu sama. Bagi difabel yang sudah ‘sukses’, Khanif mengajak untuk membantu saudara-saudara difabel lain yang masih lebih memilih hidup dalam dunianya yang sendiri dan sunyi. (cie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar