Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 23 : Tri Atmo, Jernih Menguak Sejarah


Ketika berbicara tentang sejarah Purbalingga, kita tak akan bisa meninggalkan nama Tri Atmo. Meskipun seringkali dipercaya pemerintah untuk menyusun buku sejarah, wartawan sekaligus penulis kawakan ini mengaku tak pernah menutupi kenyataan seburuk apapun dibalik sebuah catatan masa lampau.





Ketertarikan lelaki kelahiran 5 Juni 1940 ini pada sejarah, bermula saat dia menjadi salah satu jurnalis Harian “Suluh Marhaen” tahun 1966 terbitan Yogyakarta. Dari wawancara dengan para pelaku sejarah, Tri Atmo muda menjadi semakin penasaran dan terobsesi menyibak selubung-selubung sejarah yang seringkali tak terungkap.
Gayung bersambut. Tahun 1968, Jawatan Penerangan mempercayakan pembuatan buku silat berlatar belakang catatan sejarah kepadanya. “Sotya Ludira”, begitu nama buku yang dicetak sekitar 300-an copy dengan harga Rp 50,- per eksemplarnya.
“Penjualan perdana sukses, akhirnya saya diminta membuat serialnya. Jadi saya buat jilid kedua, dan ternyata habis terjual juga,” ungkapnya bangga.
Meski pada jilid ketiganya juga sold out, Tri Atmo tak lagi meneruskan pembuatan buku itu. Hal itu semata-mata karena tidak lancarnya sirkulasi dan distribusi disebabkan agen-agen yang tidak amanah.
Tak lagi menulis buku bukan berarti berhenti berkarya. Tri Atmo semakin aktif menggeluti profesinya sebagai wartawan. Padahal situasi politik saat itu masih sangat tak menentu. Bahkan Tri Atmo pernah dikepung oleh sekelompok pemuda terkait tulisannya tentang PKI.
“Saya dikira orang PKI, hanya gara-gara saya mengangkat kebenaran dibalik peristiwa G 30 S PKI,” tutur lelaki yang pernah mengenyam pendidikan jurnalistik tahun 1959 dan aktif di Kantor Berita Antara Purwokerto hingga tahun 1969.
Berbagai peristiwa buruk ditambah kondisi negara yang tidak jelas, membuat Tri Atmo memilih mundur dari dunia pers. Dia menyibukkan diri mengumpulkan berbagai data seputar sejarah yang menggelitik rasa ingin tahunya.
Perjalanan panjangnya dalam mengumpulkan berbagai dokumen sejarah menuai hasil. Tahun 1984, dia sukses menerbitkan buku berjudul “Babad dan Sejarah Purbalingga”. Buku yang didanai oleh Bagian Kesejahteraan Sekretariat Wilayah Daerah (Setwilda) Kabupaten Daerah Tingkat (Dati) II Purbalingga ini, dicetak sebanyak 500 eksemplar dan dibagikan gratis ke sekolah-sekolah sebagai bahan pembelajaran.
“Tahun 1993, Jenderal Haryo Darmoko salah satu keturunan Arsantaka meminta saya membuat buku berjudul ‘Mengenal Purbalingga’ yang diperbanyak hingga 1000 eksemplar,” imbuhnya melengkapi.
Pada masa Kepemimpinan Triyono Budi Sasongko, suami dari Sudiyah ini kembali dipercaya membuat buku berjudul “Kilas Sejarah Purbalingga” untuk menandai Hari Jadi Kabupaten Purbalingga ke-178 di akhir tahun 2008. Terakhir di tahun 2013 ini, dia juga menyusun buku serupa dengan judul “Ki Arsantaka”  atas prakarsa Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Purbalingga yang mana dia sendiri ditunjuk sebagai ketuanya.
Selain buku-buku sejarah, mantan reporter sebuah radio AM di Purbalingga ini juga pernah membuat buku kumpulan cerita berbahasa Banyumas. Buku setebal 100 halaman itu dia beri judul “Dablongan” yang diterbitkan oleh putra daerah yang cukup sukses di ibukota, Purbadi Hardjoprajitno.

Ungkap Apa Adanya
Kejujuran menjadi salah satu hal terpenting dalam penulisan buku sejarah bagi Tri Atmo. Menurut Tri Atmo, penulisan buku sejarah acapkali terpengaruh oleh kepentingan politik si penulis atau promotornya. Sebagai contoh, bagi Belanda, sosok Diponegoro akan diilustrasikan sebagai sosok yang sangat bejat dan membahayakan. Tapi bagi warga Indonesia, Pangeran Diponegoro tentu saja seorang pahlawan yang tegas dan gagah berani.
Bagi Tri Atmo, baik buruk suatu sejarah seharusnya ditulis apa adanya. Sebagai contoh, saat menulis Sejarah Kabupaten Purbalingga, dirinya tak pernah menutupi sosok Arsantaka yang lebih pro Belanda sehingga mendapatkan banyak kemudahan dalam hidupnya. Baginya, kalau memang kenyataan semacam itu, mengapa harus ditutupi.
“Bapak saya seorang PKI. Itu kenyataannya. Tapi saya tidak amsalah, lha wong itu sejarah. Bagaimanapun dia bapak saya, saya harus menghormatinya,” jelasnya.
Yang terpenting bagi pecinta tahu mentah ini, apa yang tercatat dalam sejarah sudah sepantasnya diambil hikmahnya, diambil pelajarannya. Sehingga sesuatu yang bruk dapat diantisipasi. Sesuatu yang baik,, dapat dimaksimalkan.
“Karena sejarah itu biasanya terulang, tentu dalam versi yang berbeda. Itylah mengapa kita harus mengambil pelajaran agar sejarah buruk tidak terulang,” pungkasnya. (cie)

#Inspirasi 22 : Prajurit Itu Prasojo Jujur dan Irit


Bagi Putra Widyawinaya, tentara itu haruslah menjadi teladan di tengah-tengah masyarakat. Dia harus selalu SIAP: syukuri, ikhlas, anteng (sabar) dan prihatin. 

Putra menyadari, menjadi tentara berarti harus membuang jauh-jauh keinginan untuk hidup berkelimpahan harta. Menjadi tentara juga harus siap mempertaruhkan nyawa untuk negara dan bangsa. Tapi dia tak pernah gentar, karena menjadi tentara memang cita-citanya semenjak kecil.

“Saya senang melihat tentara dengan badan yang tegap berseragam, gagah sekali kelihatannya. Sebenarnya saya ingin menjadi tentara angkatan udara. Tapi, semakin besar saya menyadari apa yang paling cocok untuk saya,” ujar lelaki kelahiran Jakarta, 4 Desember 1975 ini.

Keinginan menjadi tentara sedikit banyak memang terpengaruh dari sang ayah yang juga tentara. Meskipun menurut bungsu dari dua bersaudara pasangan Merthana dan Soedari ini, sang ayah tak pernah mengarahkan profesi apa yang harus dia tekuni di saat dewasa. Ayahnya hanya berpesan, yang penting dia harus serius dengan pilihannya.

“Untuk membuktikan keseriusan saya, saat lulus SMP, saya mendaftar SMA Taruna Nusantara di Magelang. Alhamdulillah, saya diterima,” ucap penggemar olahraga renang dan lari ini mengisahkan.

Seperti asumsi banyak orang, Putra melihat anak-anak lulusan SMA Taruna Nusantara memiliki kesempatan lebih luas menjadi tentara dibandingkan lainnya. Dan dugaannya terbukti. Putra diterima di Akademi Militer (AKMIL).
Selulus AKMIL Tahun 1997, pencinta nasi goreng dan tempe ini mendapat tugas menjadi Komandan Peleton di Batalyon Infanteri Lintas Udara 100/Prajurit Setia (Yonif Linud 100/PS) setelah sebelumnya sempat mengikuti Pendidikan Kecabangan di Bandung.

Putra cukup lama di bertugas di batalyon yang terletak di Namu Sira-sira, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara ini. Bahkan sampai batalyon ini berganti nama menjadi Batalyon Infanteri – 100 / Raider Kodam I Bukit Barisan, dari jabatan Danton meningkat menjadi Komandan Kompi (Danki) dan terakhir Pasi – 2 / Ops yang berakhir tahun 2007.

“Tahun 2007, saya mendapat tugas sebagai komandan sekolah di Komando Pendidikan dan Pelatihan (Kodiklat) TNI AD di Bandung. Baru setelah tahun 2012, saya diangkat menjadi Kepala Bagian di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad),” jelas perwira yang awal tahun 2007 menikahi kekasihnya, Stella Sasisca Harianto, dokter cantik putri seorang tentara.

Dari pernikahannya dengan Stella, Putra dikaruniai sepasang buah hati. Yang sulung bernama Cania Saskiya Winaya, dan adiknya bernama Fathan Alvaro Winaya. Setelah resmi menjadi Komandan Batalyon Infanteri 406 Bojong pada pertengahan tahun 2013, Putra memboyong keluarga kecilnya ke Purbalingga.

Meski berkedudukan sebagai Danyonif, orang nomoir satu di batalyon yang beristrikan seorang dokter nan jelita, Putra tetap menerapkan hidup sederhana pada keluarga kecilnya. Putra sangat bangga, karena sang istri sangat pandai mengelola keuangan keluarga dan mendukung mewujudkan kehidupan yang prasojo, jujur dan irit ala prajurit. 


Tentara Harus Bermanfaat

Di tengah suasana non perang, Putra berprinsip tentara tetap harus bermanfaat bagi masyarakat. Pihaknya siap jika sewaktu-waktu masyarakat membutuhkan bantuan tenaga dari batalyon yang dipimpinnya.

“Kalau membutuhkan tenaga kami, baik itu untuk bersih-bersih lingkungan, membangun rumah, membangun jalan dan jembatan, silahkan saja sampaikan ke kami. Butuh berapa peleton kami siapkan,” tegasnya.

Putra menyadari sampai saat ini masyarakat mungkin masih sungkan dan takut ketika harus berhadapan dengan tentara. Bahkan untuk meminta bantuan sekalipun. Putra juga menyadari, jika adanya oknum tentara yang menyalahgunakan wewenangnya meskipun tidak terjadi di Purbalingga, sedikit banyak mempengaruhi opini negatif masyarakat terhadap tentara.

“Jika memang menemukan ada bagian dari satuan kami yang terbukti melakukan pelanggaran, silahkan laporkan kepada kami. Kami akan tindak tegas yang ebrsangkutan jika memang benar-benar terbukti,” imbuhnya lagi.

Ketika ditanya tentang rencana masa depan, Putra tak ingin menjawabnya. Dia mengatakan, cita-cita dan obsesi seorang tentara tidak etis jika dipublikasikan karena jika salah persepsi, bisa berakibat fatal. Dia hanya ingin memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. Tidak lebih! (cie)

#Inspirasi 21 : Tak Ingin Tergantung dengan Pemerintah


Kemandirian Fatimah mengupayakan agar usaha mikronya tetap berjalan, patut diacungi jempol. Dari modal awal Rp 2 juta hasil patungan dengan adik iparnya, warga Desa Majasari Kecamatan Bukateja ini mampu mengembangkan produksi aneka makanan kecilnya hingga beromzet Rp 20 juta – Rp 30 juta setiap bulan.

Jauh sebelum menikmati laba Rp 3 juta – Rp 3,5 juta setiap bulan, kehidupan Fatimah penuh dengan kegetiran. Setelah merantau bertahun-tahun merasakan kejamnya ibukota, Fatimah yang tengah hamil tua anak pertamanya di tahun 1997 terpaksa pulang kampung hidup berjauhan dengan sang suami yang tetap bertahan menjadi buruh di sebuah pabrik konfeksi di Jakarta Selatan.


Untuk menyambung hidup di desa, istri Kasio ini membuka usaha jahit pakaian. Semua harus dilakukan karena kiriman dari sang suami masih jauh dari mencukupi. Sampai suatu ketika, di tahun 2005, pasangan suami istri ini bersilaturahim ke kerabatnya di Gombong Kabupaten Kebumen, kampung halaman Kasio.

“Waktu itu kami melihat, kerabat kami itu hidupnya udah enak. Rumahnya udah bagus, dan sudah punya kendaraan yang bagus. Padahal baru beberapa tahun usaha lanting dan seriping pisang,” ujar ibunda dari Wahyuana Kharomah dan Azra Bening Larasati.

Sepulang dari rumah kerabatnya itu, sang suami langsung mengusulkan agar Fatimah mengikuti jejak kerabatnya. Akhirnya, Fatimah kursus kilat selama tiga hari di rumah kerabatnya itu dan langsung pulang ke Majasari untuk mempraktekkan.

“Saya mengajak adik ipar saya, Kasno, untuk patungan masing-masing 1 juta, jadi modal awal kami 2 juta. Pertama kali kami buat lanting sebanyak 6 bal atau sekitar 30 kilogram, dibawa adik saya, istri Kasno yang namanya Khotijah ke PT, tempatnya kerja. Ternyata tak sampai seminggu langsung ludes,” kenangnya sumringah.

Melihat prospek yang cerah ini, Fatimah dan Kasno semakin serius menjalani usaha yang melibatkan anggota keluarga besar, mulai dari memotong-motong, membuat bumbu, menggoreng, mengemas hingga memasarkan. Dari mereka berdua yang melakukannya semua, hingga akhirnya melibatkan 10 orang anggota keluarga sebagai karyawan. Dari jualan keliling hingga bekerja sama dengan lebih dari 200 toko se-Kabupaten Purbalingga.

“Mungkin perkembangan usaha saya tidak sepesat kerabat saya di Gombong. Tapi ini saja kami sudah sangat bersyukur, setidaknya kehidupan kami tidak sesusah dulu,” ujar anak ketiga dari empat bersaudara ini.

Sudah tiga tahun ini juga, Kasio tak lagi merantau dan memilih menggeluti usaha yang telah dirintis istri tercintannya. Jenis produk yang dijualpun semakin bervariasi. Jika di awal hanya memproduksi lanting dan seriping pisang, kini Fatimah dan keluarga besarnya juga memproduksi sale pisang, seriping talas, seriping singkong, gorga jagung dan keripik tempe. Jika semula hanya melakukan penggorengan sekali dalam dua pekan, kini seminggu harus menggoreng sekitar empat kali karena permintaan yang terus meningkat.

“Sebenarnya pesanan produk lainnya banyak. Seperti seriping ubi, kue-kue kering. Tapi sepertinya saat ini belum sanggup. Ya mudah-mudahan akhir tahun ini bisa terpenuhi,” harapnya optimis.

Fatimah merasa sangat bersyukur karena mampu mandiri dan tak bergantung dari gajian perusahaan manapun. Bahkan dia mampu memberikan pekerjaan bagi keluarga besarnya yang masih menganggur. Meski mengaku tak pernah menghitung-hitung laba dan omzetnya, Fatimah selalu mampu meningkatkan modal tiap bulannya sedikit demi sedikit.

“Kalau dibilang kurang, ya pasti kurang. Tapi saya tidak ingin mengandalkan bantuan modal dari pemerintah, karena dana pemerintah kan terbatas sementara usaha mikro yang harus dibina pasti banyak sekali,” tutur pengusaha mikro yang baru menjadi UMKM Binaan Dinperindagkop Purbalingga setelah terdaftar Ijin Usaha PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) di Dinas Kesehatan Purbalingga.

Setelah resmi menjadi binaan Pemkab Purbalingga, Fatimah kerap mengikuti pelatihan baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, yang difasilitasi Pemkab Purbalingga. Dengan adanya fasilitas pelatihan dari Pemkab Purbalingga, cakrawala berpikir Fatimah menjadi terbuka sehingga terpacu untuk terus meningkatkan usahanya.

Salah satu pelatihan yang paling mengesankan ketika dia diikutkan pelatihan di Soropadan. Disini dia berlatih memanfaatkan tepung berbagai umbi-umbian bahkan buah-buahan untuk dibuat makanan kecil.

“Saya juga dipercaya menjadi Ketua Kelompok Penepungan Wanita Tani di Majasari. Melalui ini juga, kami mendapat bantuan mesin selip untuk membuat tepung dari Pemkab Purbalingga melalui Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPPKP). Sehingga kami yang beranggota 10 perempuan menjadi lebih mandiri,” ungkapnya penuh syukur. (cie)

#Inspirasi 20 : Prasojo Pangruwating Rubedho


Sosok sederhananya membuat orang yang belum mengenal Soedino mengira kakek enam cucu ini bukanlah siapa-siapa. Bagi mantan Kepala Dinas Pendidikan yang memiliki bisnis warung makan, laundry dan kost-kosan, kesederhanaan akan menjauhkan dari berbagai masalah. Prasojo Pangruwating Rubedho.


“Coba saja, kalau ada pegawai baru, di hari pertamanya ke kantor pakai mobil keluaran terbaru, pasti akan jadi omongan. Dan yang jelas, akan langsung panen musuh dan masalah,” ujar mantan pejabat eselon II di Lingkungan Pemkab Purbalingga yang purna tahun 2001.


Kesederhanaan Soedino juga terlihat saat masih duduk di pucuk pimpinan Dinas Pendidikan menjelang pensiunnya. Waktu itu, mobil dinas yang menjadi haknya digunakan Dinas Luar oleh stafnya. Tanpa sungkan, Soedino berangkat kerja naik sepeda onthel dari rumahnya di Karangsentul ke Dinas Pendidikan di Bancar sambil mengantarkan istrinya yang berdinas di DKK (saat DKK Masih berada di Gedung BKD saat ini-red).

Meski kesederhanaannya sering dipuji, tak sedikit pula orang yang mencemooh. Mungkin kalau pada masa sekarang, dianggap tengah melalukan politik pencitraan. Tapi Soedino bergeming dengan berbagai tanggapan miring.

Tempaan kehidupan yang serba prihatin, membuat Soedino memilih kehidupan yang serba sederhana. Pernah suatu ketika, saat dia masih menjadi Mantri Polisi Pamongpraja (MPP) di Kecamatan Padamara sekitar tahun 1974, Soedino hidup serba kekurangan. Di gubug kontrakannya yang reyot, di tengah gulita malam yang hanya di terangi lampu teplok yang hampir habis minyaknya, Soedino menahan lapar setelah dua setengah hari tidak makan apapun.

 “Setiap ditanya istri, sudah makan belum. Saya jawab, sudah di rumah Pak Lurah. Padahal, saya belum makan sama sekali. Tapi karena saya tahu di rumah, makanan juga hanya cukup untuk istri yang sedang menyusui, lebih baik saya yang tidak makan,” ujar suami dari Sri Murwati yang pada saat itu telah bekerja sebagai bidan desa.

Pada pukul 10 malam, di tengah tubuh yang lunglai, tiba-tiba pintu gubugnya diketuk orang, Rupanya Pak Camat. Dalam hati Dino memutuskan untuk berterus – terang akan pinjam uang pada Pak Camat. Padahal, Dino pernah berkeputusan untuk tidak pernah berhutang atau meminta pada siapapun.

“Tapi, kondisi yang serba sulit seperti itu, apalagi saya dan istri sama-sama perantau, tak ada pilihan lain selain berhutang. Sayapun bersiap-siap untuk berterus terang pada Pak Camat,” tutur pria kelahiran Yogyakarta, 1 April 1945 ini.

Belum sempat terucap sepatah katapun, tiba-tiba Pak Camat menyerahkan uang kepada Soedino senilai Rp 4.500,- atau senilai 10 gram emas saat itu. Menurut Pak Camat, itu adalah hak Soedino yang tidak pernah diambilnya selama ini. Padahal, biasanya Mantri Polisi lainnya, secara teratur mengambilnya.

“Saya terdiam, kaget dan nggak bisa bicara apa-apa. Saya malah nangis, sampai Pak Camat bingung. Lalu saya cerita, kalau sebenarnya saya baru mau nembung pinjam uang karena sudah dua hari tidak makan. Langsung Pak Camat marah-marah. Beliau bilang, Kebangeten! Kalau kamu sampai mati, kan aku yang harus tanggung jawab,” kisahnya.

Soedino-pun tetap bisa menjalankan prinsipnya untuk tidak berhutang. Termasuk saat dia memulai berbagai usaha kecil-kecilan. Mulai dari dagang kain jarit, dedak (pakan ayam), papan tulis, hingga kini dia memiliki berbagai usaha seperti warung makan, laundry dan kost-kosan yang dijalankan ketiga putranya.

“Karena saya kan pengen jadi orang yang lurus, jujur dan ikhlas dalam bekerja. Konsekuensinya gaji PNS saya nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Mau tidak mau saya harus usaha. Tapi gimana caranya tidak dengan hutang,” imbuh Ketua Koperasi Bhakti Praja yang telah menjabat selama hampir 30 tahun ini.

Karena tidak ingin berhutang, modal betul-betul didapatnya dari uang yang ada. Strateginya, Soedino dan istri jadi rajin puasa agar irit pengeluaran makannya. Anak-anaknya juga tidak pernah dibelikan sesuatu yang sifatnya tidak mendesak.

“Sampai-sampai anak-anak mengatai saya bapak yang paling pelit sedunia, hahaha…” kenang ayah tiga putra yang selalu aktif di berbagai organisasi ini.

Meski telah lebih dari 10 tahun purna tugas, Soedino masih sering terlihat di berbagai kegiatan. Kakek enerjik yang gemar olah raga dan tidak berpantang makan apapun ini pernah tercatat menjadi ketua di sembilan organisasi sosial sekaligus beberapa diantaranya Dewan Pendidikan, PWRI, Hipprada Pramuka dan Yayasan SLB.

“Saya memang suka organisasi sejak kecil. Selain selalu menjadi ketua kelas saat masih SR (sekarang SD-red), umur 10 tahun saya sudah pidato di desa lain. Waktu SMP dan SMA, saya juga jadi ketua semacam Ketua Osis, sampai lulus SMA, juga aktif di GMNI,” jelas lelaki yang juga pernah menjadi aktivis Darul Islam, Ketua Sinoman dan Ketua Persatuan Sepakbola di Kota Gudeg semasa remaja.

Atas desakan sang kakak, Soedino yang sedang menikmati kualiah di Jurusan Pemerintahan Gama (sekarang UGM-red), terpaksa pindah ke APDN Semarang. Alasan utama keluarga, agar mudah bekerja karena masih ikatan dinas.

Meski terpaksa, Soedino justru semakin bersinar. Selain sebagai Ketua Ikatan Mahasiswa Pamong Praja Indonesia (IMAPI), pria yang pernah gagal diterima di Sekolah Guru Menengah karena tinggi badannya kurang, justru menjadi mahasiswa dengan nilai terbaik.

“Karena tiga besar, saya dipersilahkan memilih mau ditempatkan dimana. Saya pilih Banyumas karena saya cocok dengan orang-orang yang terus terang atau cablaka ala banyumasan,” ujar lelaki yang menyakini orang-orang ngapak lebih manut dengan pimpinannya dibanding orang – orang wetan.

Tapi karena ketiga sahabatnya di APDN yang putra wedana juga memilih Banyumas, Soedino diam-diam tanpa sepengetahuan temannya, beralih ke Purbalingga. Toh, masih sekultur Banyumas.

Di Purbalingga inilah, Soedino mengembangkan karir, bertemu jodoh dan orang-orang yang sevisi dengannya. Baginya prisip kesederhanaan harus tetap dijunjung tinggi, disamping kejujuran dan keikhlasan dalam bekerja.

“Tidak usah khawatir dengan jabatan ataupun uang. Yang penting bekerjalah ikhlas, jujur dan disiplin. Kalaupun karenanya kita tak dapat apa-apa, tetaplah disyukuri. Insya Allah, ra ketemu awak, ya ketemu anak. Ora nang dunya, yo nang akherat,” pungkasnya. (cie)

#Inspirasi 19 : Si Narsis yang Pandai Bersyukur


Menjadi yatim piatu di usia sangat muda, bukan halangan bagi Subeno untuk berpendidikan tinggi. Meski harus hidup serba kekurangan, anak ke-11 dari 13 bersaudara ini tidak pernah sedikitpun minder. Sebaliknya, cenderung narsis alias over percaya diri.

Di kalangan para pendidik di Purbalingga, nama Subeno sudah tak asing lagi. Pria berambut putih yang mengingatkan kita pada Hatta Rajasa ini, dikenal sebagai salah seorang pemimpin yang tak pernah menganggap stafnya sebagai bawahan.

“Mereka adalah mitra kerja saya, rekan saya. Kita sama, hanya masalah pembagian tugas saja,” ujarnya kalem.
Sikap low profile Subeno, tak lepas dari perjalanan hidupnya yang penuh ujian. Sebenarnya, pada awalnya keluarga Subeno hidup relatif berkecukupan karena sang ayah, Dipayuda, bekerja sebagai Lurah Tanalum Kecamatan Rembang dan memiliki tanah bengkok yang subur dan luas.


Namun, saat usia 5 tahun, Subeno harus kehilangan sang ayah yang dipanggil Yang Kuasa. Ibundanya, Aminah, yang setia menjadi ibu rumah tangga praktis hanya mengandalkan warisan sang suami, untuk menghidupi 13 anaknya.

Ujian Beno kecil ternyata belum usai. Saat duduk di bangku kelas 4 SD, malaikat Izroil giliran mencabut nyawa sang ibu. Jadilah dia seorang yatim piatu. Padahal, dia sendiri masih memiliki dua orang adik yang juga masih kecil-kecil.

“Menjelang meninggal, kami berkumpul di sekitar ibu. Ibu melihat saya lalu memeluk saya erat sambil menangis dan berkata ‘Ko si kepriwe, Beno’. Mungkin ibu saya sangat khawatir dengan masa depan saya setelah dia tiada,” kisahnya.

Sang ibu pantas untuk khawatir. Karena diantara ke-13 putranya, Beno memang yang paling cerdas dan menonjol. Ibunya sangat khawatir sepeninggalnya, Beno kecil putus sekolah, menjadi anak terlantar dan bermasa depan suram.

“Perkataan ibu sebelum meninggal itu, sangat merasuk ke dalam hati saya. Saya harus membangun masa depan yang lebih baik apapun yang terjadi. Meskipun saya yatim piatu, meskipun saya miskin,” tuturnya seraya menerawang dengan kedua mata berkaca-kaca.

Sepeninggal sang ibu, keluarga besar berembug. Hasil musyawarah, Beno dan adik-adiknya akan diasuh oleh kakak-kakak yang telah mandiri. Mereka tak akan diasuh oleh orang lain, di luar keluarga inti. 

Beno dititipkan kepada anak kedua keluarga besar itu. Tapi, seperti juga kakaknya yang lain, kehidupan ekonomi sang kakak serba kekurangan. Untuk membiayai sekolah anak-anaknya saja, sang kakak terlihat kewalahan. Apalagi setelah Beno juga ikut diasuh disana.

“Pernah waktu sekolah di SMP Negeri 1 Purbalingga. Pas pelajaran ketrampilan membuat telur asin, saya dipanggil pak guru, Pak Prajitno Djojo. Karena saya satu-satunya yang tidak mengumpulkan telur bebek. Lalu saya jelaskan kepada pak guru, kalau saya sudah minta ke kakak saya, tapi kakak saya tidak punya uang. Mendengar penjelasan saya, pak guru malah terharu,” kisahnya lagi.

Karenanya, Beno berusaha seminim mungkin merepotkan kakaknya. Beno aktif mencari beasiswa dengan bermodalkan nilai-nilainya yang selalu terbaik di sekolahan. Saat sekolah di STM YPT 1 Purbalingga, Beno meminta kepada kepala sekolah yang saat itu dijabat Trisnanto (Ketua Kwarcab Purbalingga sekarang-red), agar dirinya menjadi salah satu siswa yang mendapat beasiswa. Karena nilai-nilai Beno selalu maksimal, permohonan itupun dikabulkan.

“Alhamdulillah sampai saya lulus, selalu rangking satu. Saat lulus, saya juga rangking 1 paralel,” ungkapnya penuh syukur.

Saat lulus, kata dia, ada tiga orang guru STM YPT yang berminat membiayai kuliahnya sampai tuntas. Ada guru yang membiayai SPP-nya, ada yang khusus membayar uang pembangunan dan ada yang akan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Beno muda tak gegabah memberikan keputusan. Dia tanyakan dulu kepada kakak-kakaknya. Dari hasil musyawarah, kakak-kakak tidak setuju karena khawatir akan menjadi hutang budi yang sulit ditebus.

Akhirnya Beno berpikir sendiri untuk bisa melanjutkan sekolah. Apalagi kalau bukan dengan berburu beasiswa. Beno akhirnya memilih keguruan kimia dan dibantu beasiswa dari dua lembaga sekaligus. Tak hanya kimia, dalam waktu bersamaan Beno juga mengikuti kuliah fisika dan teknik sekaligus.

Selulus kuliah, pecinta permainan catur ini langsung bekerja di almamaternya, STM YPT. Tak hanya itu, Beno juga mengajar di SMA Karya Bhakti dan SMA Ma’arif Karanganyar. Total jam mengajarnya mencapai 65 jam seminggu.

“Dalam sehari saya mengajar sampai 12 jam, dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore kadang sampai maghrib. Jadi misal pagi di YPT, siang di Karanganyar dan sorenya di Karya Bhakti. Saya yakin, kalau saat ini jarang guru bisa 65 jam sepekan, apalagi sudah sangat jarang sekolah sore karena jumlah lokal kelas semakin bertambah, jumlah guru juga lebih banyak,” ujarnya.

Beno mengaku sangat dekat dengan murid-muridnya. Banyak muridnya yang menganggapnya sebagai sahabat tempat mencurahkan isi hati. Tak terkecuali, Ketua DPRD Kabupaten Purbalingga, Tasdi SH MM. Tasdi pernah curhat meski melalui surat.

“Tulisan tangan dia sangat bagus, rapi sekali. Saya senang membacanya,” tuturnya. 

Narsis dan Suka Tantangan
Meski tumbuh sebagai anak yatim piatu yang serba kekurangan, Subeno termasuk pribadi yang sangat percaya diri dan suka sekali tantangan. Hal ‘gila’ yang pernah dilakukan karena ke-pede-annya, terjadi pada saat menjadi guru di STM YPT. Saat itu dia diamanahi untuk membuat laporan yang cukup ‘njelimet’. Lalu dia mengusulkan kepada pihak Yayasan untuk melakukan pengadaan komputer.

“Saya ditanya oleh atasan, apa kamu bisa mengoperasikan komputer? Saya bilang, bisa, dengan sangat mantap. Akhirnya, usulan diterima. Padahal sejujurnya, saya sama sekali belum bisa komputer seperti semua guru yang ada saat itu. Lihat barangnya saja baru pernah setelah komputer datang,” kisahnya.

Begitu komputer datang, Beno langsung belajar semua rumus-rumus rumit mengoperasikan komputer MS-DOS secara otodidak. Dalam waktu singkat, Beno sudah menguasai komputer itu dan menjadi satu-satunya pemakai.
“Sejak itu, menjadi guru les komputer adalah sumber penghasilan tambahan saya,” ujar suami dari Harsini SPd MSi dan ayah dari Dhiksta Olya W (arsitek di Singapura) dan Gilang Hanu P (Kuliah S2 di UGM).

Pelan tapi pasti, karir Beno terus menanjak. Dari guru menjadi kepala sekolah. Lalu menjadi Kabid Pendidikan Menengah (Dikmen) di Dinas Pendidikan kemudian menjadi Sekretaris di dinas yang sama, dan kini naik lagi menjadi pejabat eselon II: Staf Ahli Bupati Bidang Kemasyarakatan dan SDM.

Subeno berhasil meruntuhkan stereotip negatif tentang jabatan staf ahli yang terkesan jabatan buangan. Sebab, Subeno justru seringkali diminta pendapat dan analisanya oleh Wabup H Sukento Ridho Marhaendrianto MM. Kini diapun dipercaya menyusun perbub, matriks program dan studi kelayakan tentang Kabupaten Layak Anak (KLA) untuk menanggulangi berbagai permasalahan remaja termasuk diantaranya seks pranikah dan narkoba yang semakin mengkhawatirkan. Program KLA ini akan diaplikasikan pada tahun 2014.Lalu, adakah ambisi atau impian yang masih ingin dicapai?

“Saya minta 100, Allah memberi saya 200. Sekarang tugas saya hanya bersyukur dan terus bersyukur. Karena, dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmat yang telah diberikan kepada hambaNya,” ujarnya rendah hati. (cie)

#Inspirasi 19 - Si Bakul Kumpulan


Keaktifannya di berbagai organisasi mulai di tingkat RT hingga tingkat kabupaten, membuat sosok Imam Yulianto terasa akrab bagi sebagian besar masyarakat Purbalingga. Bahkan suami dari Siti Silichati ini sempat dijuluki “Bakul Kumpulan” oleh mertuanya. Bagaimana kisahnya?

Imam Yulianto mulai aktif berorganisasi sejak dinobatkan menjadi Ketua OSIS saat berstatus pelajar di SMA Negeri 1 Bukateja. Memasuki dunia kampus di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), aktivitasnya di berbagai organisasi semakin tak terelakkan. Tercatat beberapa organisasi kampus diikutinya, mulai dari lembaga pers kampus sebagai pemimpin redaksi, ikatan mahasiswa sebagai sekretaris umum, pecinta alam hingga pramuka.

“Waktu saya menjadi ketua OSIS, orang tua sempat melarang saya berorganisasi, karena orang tua terutama bapak saya punya pengalaman pahit selama berorganisasi. Teman-teman seangkatan bapak yang sama sekali tidak berorganisasi justru kehidupannya lebih sejahtera dibanding bapak yang dulu aktif,” jelas anak kedua dari empat bersaudara ini.

Menanggapi larangan bapaknya yang pernah aktif di Hisbul Wathon (salah satu badan otonom Muhammadiyah) di era 1960-an, Imam dengan bijak menyampaikan jika keuntungan berorganisasi mungkin tidak saat itu dia rasakan, tapi lima atau sepuluh atau dua puluh tahun lagi.

Setelah meraih gelar sarjana dan pulang kampung, kegiatan Imam tak kunjung surut malah sebaliknya terus bertambah. Mulai dari organisasi ikatan alumni SMP dan SMA, organisasi kemasyrakatan, organisasi kepemudaan, hingga kepartaian. Bahkan setelah menikah dan dikarunia tiga putrapun, Imam masih getol mengikuti berbagai kegiatan dari berbagai organisasi.

“Seminggu ada tujuh hari, lima hari diantaranya bisa saya habiskan untuk kegiatan,” jelas pria kelahiran 21 Juli 1972 yang telah tiga tahun ini juga dipercaya menjadi Ketua RT 04 RW 04 Kalikabong.

Lalu, apa istri tidak pernah protes??

“Istri saya sebenarnya sangat paham saya karena kami selalu bersama-sama sejak aktif di organisasi kepemudaan di desa. Tapi bagaimanapun, kadang istri juga merasa terabaikan oleh saya. Dia pernah menangis karena menganggap saya lebih mementingkan organisasi daripada keluarga,” kisah lelaki berbadan tambun yang pernah dipandang sebelah mata oleh keluarga besarnya karena pernah tidak berpenghasilan tapi malah sibuk berorganisasi.

Kala itu, sekitar tahun 2001, kondisi keuangan Imam masih jauh dari mapan. Ketika penghasilannya sebagai seorang agen asuransi lokal yang tidak begitu banyak, justru dia habiskan untuk organisasi. Sang istri tidak habis mengerti dan tangisnyapun pecah. Istrinya hanya minta Imam untuk realistis.

Kehidupan yang sulit juga sempat membuat semangat berkegiatan Imam melorot. Ayah satu jagoan dan dua bidadari ini pernah enam bulan vakum berkegiatan baik di masyarakat, pemuda maupun organisasi lainnya. Tapi jiwa kepemimpinan Imam memberontak. Pria yang pernah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Purbalingga ini merasakan, semakin dia sepi kegiatan, semakin jauh dari rizki.

“Rizki itu jangan dimaknai melulu uang. Rizki itu termasuk informasi lowongan pekerjaan, informasi peluang bisnis dan peluang rizki lainnya,” jelas aktivis yang kini masih mengetuai belasan organisasi ini.

Karenanya, lelaki yang pernah berkecimpung di dunia jurnalistik ini memutuskan kembali berkegiatan. Dan benar, satu per satu jalan rizkipun menghampirinya. Bahkan setelah dia menjadi PNS sekalipun, Imam telah merasakan manfaat berorganisasi yang mampu memperlancar tugasnya sebagai penyuluh KB.

“Saya pernah bertugas untuk memberikan penyuluhan KB di perdesaan. Biasanya banyak kaum bapak yang kurang mendukung istrinya ikut kumpulan KB. Tapi ternyata ada beberapa diantara mereka yang mengenal saya karena keaktifan saya di sebuah organisasi dan menyambut baik penyuluhan yang saya ampu,” kenang pria berkulit legam ini.

Berbagai organisasi yang digelutinya ternyata membuat kemampuan berkomunikasi Imam terasah. Termasuk bagaimana berkomunikasi dengan orang-orang desa. Hal itu sangat memudahkannya dalam menjalani tugasnya sebagai penyuluh KB.

“Ternyata berkomunikasi dengan orang desa itu tidak semua orang bisa. Saya mengamati, ternyata banyak orang yang tidak nyaman ketika harus terjun ke desa dan berkomunikasi dengan orang desa, termasuk para penyuluh,” tuturnya.

Ketika berkumpul dengan orang-orang desa yang masih asing, orang yang tidak terbiasa memilih asik dengan ponselnya. Padahal, kata dia, ini menjadi kesempatan untuk menggali dan mengenal lebih dalam orang-orang desa yang menjadi sasaran penyuluhannya.

Organisasi mengajarkan Imam lebih mudah beradaptasi di segala tempat di segala situasi dan di segala komunitas. Melalui organisasi pula, Imam dikenal dan mengenal banyak orang. Mulai dari strata tertinggi hingga tingkat akar rumput, berbagai profesi, berbagai ras, lintas suku dan agama. 

Bahkan sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah, Imam mengaku akrab dengan Ketua PC Nahdatlul Ulama (NU) Purbalingga, Sudarno. Mereka pernah bekerjasama dalam satu wadah Interfet Committee (IFC), sebuah organisasi yang menangani kebutuhan eksodan daerah konflik yang memilih bermukim di Purbalingga. Di IFC ini, Sudarno sebagai Ketua dan Imam sebagai sekretarisnya.

Salah satu kegiatan Imam yang sukses menyatukan dua ormas terbesar di Indonesia dalam skala lokal, terjadi pada tahun 1997 dengan dilaksanakannya Tabligh Akbar tentang Zakat, Infak dan Shodaqoh. Beberapa kali mereka juga berkumpul membahas tentang isu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 

Menurut Imam, seorang PNS seharusnya tidak takut berorganisasi. Minimal mau aktif di masyarakat sekitarnya. Karena sebisa mungkin, seorang PNS bisa menjadi panutan warga di lingkungan tempat tinggalnya.

“Yang terpenting jangan terjebak dengan organisasi terlarang atau sekte-sekte sesat dan tetap komitmen mengutamakan pekerjaannya sebagai PNS,” pesannya. (cie)

#Inspirasi 17 : Cuci Otak dan Ancaman Kematian


Tak banyak mantan aktivis organisasi terlarang Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang mau ‘bersuara’ seperti Ken Setiawan. Padahal menurut Ken, hanya dengan bersuaralah intimidasi dan teror bagi mantan aktivis NII KW IX bisa diantisipasi.



Bergabung dengan NII KW IX tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Ken Setiawan. Saat itu sekitar tahun 2000, lulusan SMEA NU Brayan Kebumen ini mendapat tugas mewakili Kabupaten Kebumen mengikuti Turnamen Pencak Silat di Jakarta dalam rangka Memperingati Hari Sumpah Pemuda.

“Acaranya masih beberapa hari lagi, tapi saya berangkat lebih awal karena ingin bertemu dengan teman-teman sedaerah di Jakarta,” jelas lelaki berjenggot tipis dan bergaya necis ini.

Sesampai di kontrakan rekan-rekan sedaerahnya di daerah Jakarta Pusat, Ken menyaksikan banyak diantara para pemuda di kontrakan itu memanfaatkan waktunya membaca Al Qur’an dan mengikuti pengajian. Jebolan Pondok Pesantren Al Nawawi Kebumen ini terpesona, karena di tengah kesibukan mereka di kota metropolitan itu, masih sempat mencurahkan waktunya untuk beribadah.

“Saya yang lulusan pondok langsung saja mau waktu diajak ikut ngaji, ya di kontrakan itu juga. Pemaparan senior waktu itu luar biasa, saya langsung mantap mengikuti mereka. Gara-gara ini, akhirnya saya malah nggak jadi ikut turnamen dan nggak kembali ke Kebumen,” kenangnya seraya menerawang.

Sejak mengikuti gerakan NII, hampir seluruh waktu lelaki muda kelahiran 10 September 1979 ini habis bersama rekan-rekan sesama aktivis. Doktrin terus-menerus diterimanya dari para senior dan rekan-rekannya. Tak ada pilihan lain selain mengamini dan membenarkan semua ajaran-ajaran, sebab seluruh orang yang ditemuinya setiap hari memang telah disetting untuk satu suara.

“Pada awalnya materi-materi yang diajarkan itu ya materi-matei keisalam secara umum, seperti yang pernah saya dapatkan di pondok. Tapi lama kelamaan, terutama setelah dibaiat, materi-materi keislaman tidak lagi saya dapatkan. Semua materi dan doktrin ditujukan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia,” jelas putra sulung tiga bersaudara pasangan Nuryadi dan Bashiyah.

Seperti pada umumnya aktivis NII, Ken juga dibaiat di Pondok Pesantren Al Zaytun Indramayu yang super mewah. Konon, kemewahan ponpes ini didapatkan dari cara-cara yang jauh dari halal. Menurut Ken, karena saat ini kondisi dianggap masih jahiliyah, harta siapapun itu halal diambil. Merampok, mencuri, menipu menjadi hal-hal yang lumrah dilakukan aktivis NII.

“Istilahnya takiyah atau tak-tik. Itu boleh saja dilakukan kata senior saya selama tujuannya untuk NII. Jadi tujuan kita bukan Allahu Akbar tapi Negara Islam Indonesia yang Besar,” tegasnya.

Sasaran penipuan boleh siapa saja di luar anggota NII, termasuk juga orang tua. Sebagai contoh mahasiswa bersama temannya menyusun skenario, berpura-pura telah menghilangkan laptop temannya. Padahal laptop itu rencananya mau dijual untuk biaya operasi orang tua teman si mahasiswa itu.

“Si mahasiswa itu bilang kalau dia menghilangkan laptop temannya, temannya juga mengatakan kalau mahasiswa itu telah menghilangkan laptopnya. Klop, padahal itu skenario. Laptop itu dibeli di Malaysia, harganya 50 juta,” kisahnya.

Pada awalnya skenario ini gagal. Selanjutnya dilakukan skenario kedua, datang paman dari pemilik laptop mengatakan kalau ini sebuah musibah. Jadi sang paman mau membantu setengahnya, sang orang tua cukup memberikan 25 juta saja, dan ternyata sukses.

“Penipuan semacam ini lumrah dilakukan, dan skenarionya macam-macam. Dan yang sering menjadi korban itu orang tuanya. Bisa anak menabrakkan mobil temannya, menghilangkan ponsel temannya…macam-macam,” ungkapnya.

Tak hanya menggalang dana dengan menghalalkan segala cara, aktivis NII juga diwajibkan untuk merekrut anggota baru sebanyak-banyaknya. Ken termasuk aktivis yang berprestasi karena mampu merekrut banyak sekali anggota baru sampai-sampai dia pernah mendapat piagam penghargaan dari Presiden NII.

Lalu bagaimana jika anggota NII menolak melakukan itu semua?

“Sanksinya berat sekali apalagi bagi kami yang sudah dianggap senior. Misal saya ditarget sehari dapat 10 orang baru, sampai malam baru dapat dua, saya dapat sanksi dicambuk dengan rotan. Rotan ini tidak akan berhenti dicambukkan di badan saya sebelum keluar darah,” kisahnya.

Lho, apa mereka tidak ada yang sanggup melawan?

“Justru, kami merasa semakin menderita itu kami semakin semangat karena itu kan bentuk ujian. Ya setiap hari kami didoktrin seperti itu, sehingga tidak ada satupun orang yang mengeluh. Justru selalu semangat dan semangat sekali,” jelas ayah satu orang putra ini.

Namun, sehebat-hebatnya doktrin, hati nurani dan akal pikiran manusia lama-kelamaan juga berontak. Ken seringkali menerenung kala sendirian. Dulu dia bergabung dalam gerakan ini semata-mata karena ingin beribadah, ingin menjadi orang yang sholeh dan menjadi lebih baik. Tapi mengapa setelah bergabung, semakin lama mengapa perilakunya semakin tidak benar??

Kegalauan Ken rupanya terbaca oleh seniornya yang telah keluar dari NII. Oleh para mantan NII, otak Ken kembali dicuci dan dibersihkan dari pengaruh NII. Akhirnya Ken menyadari kekeliruannya dan bertobat. Tahun 2002, Ken menyatakan diri keluar dari NII.

Mulai Bersuara
Penuh kekhawatiran. Itulah yang biasa dirasakan oleh orang yang baru saja keluar dari cengkeraman NII. Ken mengatakan, saat dirinya menyatakan keluar dari NII, para seniornya di NII menegaskan padanya, bahwa ketika NII benar-benar mencapai kemenangan dan berhasil berdiri, maka Ken termasuk salah satu yang akan dipenggal kepalanya lebih dulu.

“Jujur saya takut sekali saat itu. Saya sempat berpikir, bagaiman kalau NII benar-benar segera berdiri? Sebab, keuangan NII itu sangat kuat. Miliaran rupiah lebih. Itu yang saya tahu. Di luar pengetahuan saya mungkin lebih banyak lagi,” tuturnya.

Belum lama memutuskan keluar, Ken akhirnya bergabung kembali. Menurutnya, kali ini dia masuk sebagai orang yang memiliki misi. Yaitu untuk lebih mendalami NII dengan tujuan untuk membendungnya. Setelah merasa cukup memahami seluruh seluk-beluk NII, tahun 2007 Ken benar-benar resmi keluar dari NII. Tentu saja dengan berbagai ancaman mengikutinya.

“Tapi senior saya yang lebih dulu keluar bilang sama saya, kalau mau bebas intimidasi dari aktivis NII, kita harus bersuara. Mereka tidak akan mendekat pada yang melawan,” jelasnya.

Saat keluar, Ken mencoba mencari dukungan ke Kementrian Agama, MUI dan Kepolisian. Namun hasil yang diperolehnya kurang memuaskan. Masing-masing merasa tidak berwenang membubarkan NII.

Akhirnya Ken tak punya pilihan lain selain mengunpulkan rekan-rekan sesama mantan aktivis untuk membentuk NII Crisis Center. Selain untuk membendung bahaya NII,wadah ini juga berfungsi untuk memberikan perlindungan dan terapi bagi korban NII. Selain itu, NII Crisis Center juga bekerja sama dengan aparat pemerintah untuk mensosialisasikan bahaya NII, dengan harapan masyarakat semakin waspada dan dapat sedini mungkin mengantisipasi bertumbangnya korban-korban NII.

“Hampir setiap hari kami menerima laporan anak hilang, anak membawa uang orang tua dan sebagainya. Sebagian memang benar ada hubungannya dengan NII, tapi kalau murni kriminal dan tidak ada hubungannya dengan NII, kami serahkan sepenuhnya pada kepolisian,” jelas Sekjen NII Crisis Center yang juga Ketua Forum Komunikasi Korban NII..

Berkeliling Indonesia mensosialisasikan bahaya NII meskipun bekerja sama dengan aparat pemerintah baik Pemkab/ Pemkot maupun pihak kepolisian, bukan berarti tak ada aral. Masih banyak anggota masyarakat yang menaruh curiga Ken masih menjadi bagian dari NII, lalu berpura-pura keluar dari NII untuk sebuah tak-tik.

“Kalau yang seperti itu sering sekali. Tapi biar saja, saya sudah biasa. Konsekuensi keluar dari NII memang berat, termasuk harus siap mati. Mau bagaimana lagi. Saya memang harus siap. Karena saya tidak mau lebih banyak korban berjatuhan,” ujarnya. (cie)

Untuk lebih memahami NII dan penanggulangannya, NII Crisis Center menyediakan website untuk diakses : www.nii-crisis-center.comatau telpon ke hotline : 08985151228.

Inspirasi 16 : Tak Pernah Jijik, Malah Tertantang


Bagi sebagian besar orang, memandang penderita kusta biasanya tidak tahan dan memilih menjauh. Selain banyaknya luka basah, umumnya penderita kusta yang belum diobati mengeluarkan bau yang tak sedap. Tapi, bagi Rr Retno Asih S, merawat penderita sebuah tantangan yang tak sedikitpun membuatnya jijik.


Retno, begitu sapaan akrab perempuan manis lulusan SPK Depkes Purwokerto ini. Sejak tahun 2009, dia mendapat amanah baru menjadi perawat penderita kusta. Waktu itu, di Desa Banjarkerta, yang masuk menjadi wilayah kerjanya di Puskesmas Karanganyar, baru ditemukan kasus kusta yang menimpa satu keluarga sekaligus.

“Waktu itu, saya ditugaskan menjadi perawat kusta. Lalu saya harus mengikuti pelatihan di Tegal selama kurang lebih tiga pekan,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara pasangan R Kusman P dan Eni Purwati, seraya tersenyum manis.

Selama pelatihan, Retno menjumpai banyak sekali penderita kusta. Mulai dari yang kusta kering (PB) hingga yang kusta basah (MB). Semua peserta pelatihan diwajibkan langsung menyentuh penderita kusta untuk memastikan masih berfungsi atau tidaknya syaraf raba dan rasa para penderita. Padahal, seringkali kondisi mereka sudah parah, terdapat luka yang penuh dengan darah dan nanah. Apakah ada rasa jijik pada awal menyentuh penderita kusta?

“Sama sekali tidak jijik. Saya malah senang sekali, dan tertantang dan pengen disana lebih lama untuk belajar,” kisahnya antusias.

Setelah pelatihan dilakoni, Retno harus kembali bekerja dan benar-benar merawat penderita kusta sebagai bagian pekerjaannya. Sebulan sekali, Retno melakukan monitoring ke rumah penderita kusta untuk memastikan apakah obat yang diberikan diminum sesuai petunjuk, apakah sandal khusus kusta tetap dipakai, apakah ada permasalahan lain yang mengganggu proses pengobatan dan seterusnya.

“Memang harus telaten. Sebab, pengobatan yang sangat lama, membuat mereka malas minum obat teratur. Padahal kalau sampai terhenti sampai waktu tertentu, obat harus diulang dari awal. Karena sebenarnya kalau mengikuti pentunjuk, kusta bisa sembuh,” terang perempuan kelahiran Banyumas, 8 Maret 1981.

Kadang dalam kegiatan monitoring, harus ada acara bujuk-membujuk. Sasaran monitoring tak hanya penderita dan keluarganya, tapi juga masyarakat di sekitarnya. Karena seringkali masyarakat yang tak paham justru mengucilkan penderita yang semakin memperburuk keadaan.

“Setelah kami kumpulkan masyarakat, lalu kami beri penyuluhan, akhirnya mereka mau mengerti dan sikapnya mulai berubah pada penderita. Ini penting, karena setelah penderita sembuh sebenarnya tidak lagi menular dan seharusnya bisa bekerja dan bersosialisasi seperti biasa,” jelas perawat yang telah menjadi PNS DKK Purbalingga sejak tahun 2005.

Sebagai perawat kusta, pada awalnya istri Muhammad Nurwahyudi mendapat tantangan pertama justru dari suami. Setiap Retno pulang, sang suami langsung meminta istrinya untuk buru-buru mandi sebersih-bersihnya.

“Tapi setelah saya jelaskan, lama-lama dia mengerti kalau kusta itu nggak gampang nular,” imbuhnya dengan tetap menebar senyum legitnya. (cie)

#Inspirasi 15 : Bakul Plembungan yang Beromzet Belasan Juta Rupiah Sebulan


Sumaryo memang bukan siapa-siapa. Dia hanya penjual balon keliling yang sangat senang melihat tawa ceria anak-anak setelah membeli balon darinya. Siapa sangka, balon-balon ini telah mengantarkannya menjadi usahawan yang beromzet belasan juta rupiah sebulan.


Terlahir dari keluarga sangat miskin, Sumaryo kecil tak bisa nikmati pengasuhan yang layak sebagai anak-anak. Ibunya merantau ke Tasikmalaya, ayahnya tak pernah di rumah karena sibuk berdagang mainan. Tak ada yang peduli anak kedua dari empat bersaudara ini sekolah atau tidak.

“Tapi saya ingin sekali sekolah. Makanya, usia mungkin masih kecil sekali, tapi saya sudah berani berdagang. Jadi dari Tk sampai SMP, saya biayai sekolahnya sediri,” tutur lelaki kelahiran 25 Juni 1966 ini yang mengaku sudah berjualan balon sejak usia kanak-kanak.

Maryo mengaku tak pernah malu berjualan balon keliling di saat teman-teman seusianya asyik bermain. Jika dia masuk sekolah pagi, berjualan balon dilakoninya siang hingga sore hari. Sebaliknya jika giliran masuk siang,
Maryo tak sungkan berjualan pagi hari.

Saat usia 11 tahun, berbekal sekantung balon, Maryo dengan bercelana pendek nekad merantau ke Danau Toba, Sumatera Utara. Baru setahun, Maryo remaja memilih pulang kampung dan kembali bersekolah hingga lulus SMP.

“Tapi, lulus SMP saya merantau lagi, hampir keliling Indonesia. Jakarta, Surabaya, Bandung, Sulawesi, Bali sampai Kalimantan. Yang belum mungkin cuma Papua dan Nusa Tenggara,” tutur lelaki yang pernah menikah dua kali ini dan dikaruniai enam orang anak dari kedua istrinya.

Hidup merantau hanya berjualan balon, memang tidak mampu membuat kehidupan Maryo lebih baik. Bahkan setelah dia menikah dan dikaruniai empat putera, sang istri tega mengkhianati. Kabar perselingkuhan sang istri dia dengar dari kedua orang tuanya yang kebetulan melihat dengan mata kepala sendiri perilaku negatif sang istri.

“Saya pulang merantau dapat kabar seperti itu. Lalu saya tanya sama istri, dia marah dan memilih meninggalkan saya dan pergi bersama lelaki pilihannya. Dia juga meninggalkan anak-anak kami yang masih kecil-kecil tanpa sedikitpun tanggung jawab,” kenangnya pilu.

Keempat anaknya akhirnya dia titipkan kepada orang tuanya yang mulai jompo. Sementara, Maryo kembali merantau untuk bekerja lebih keras lagi menghidupi keempat buah hatinya.

Sampai suatu ketika, saat dia berjualan di Pasar Gombong, kebumen, dia bertemu dengan seorang gadis yang tak lagi belia. Gadis itu membantu usaha kelontong kakaknya, dan kebetulan Maryo berjualan balon di depan kiosnya.

“Lama-lama saya suka dan saya yakin, kali ini pilihan saya tidak salah. Dia sepertinya wanita yang baik,” tuturnya.
Perkiraan Maryo memang tidak meleset. Siti Hartati yang dinikahinya tanpa kehadiran keluarga Maryo, benar-benar seorang perempuan yang sangat menerima Maryo apa adanya. Hartati bersedia mengasuh anak-anak yang ditinggalkan mantan istrinya, bahkan di kala Maryo merantau sekalipun. Hartati juga sangat setia menemani Maryo dalam suka dan duka.

“Tapi ada masa dimana saya sudah sama sekali tidak sanggup mengurus anak-anak. Kami sangat miskin, untuk makan susah apalagi menyekolahkan anak-anak. Terpaksa dua dari empat anak suami saya, saya titipkan ke panti asuhan,” tutur Hartati yang telah memberikan dua orang anak dari hasil pernikahannya dengan Maryo. 

Kehidupan terus berjalan. Melalui Hartati, kehidupan Maryo berubah. Suatu sore, saat Hartati berjualan balon sabun di Alun-alun Purbalingga, seorang pegawai bank syariah mendekatinya dan memesan balon udara untuk peresmian kantor cabangnya.

“Saya ya terus terang, kalau saya nggak punya karena saya jual ‘plembungan’ biasa yang nggak bisa terbang. Eh, si mas itu malah nawarin saya, mau dimodalin apa nggak. Siapa yang nggak mau? Ya saya sanggupi saja. Nggak nyangka diberikan 3 juta,” kenang Hartati.

Uang sebanyak Rp 3 juta itu dia belikan tabung gas untuk mengisi balon agar bisa terbang. Sisanya untuk membeli balon sesuai pesanan. Setelah acara peresmian, Hartati masih belum melanjutkan penjualan balon terbang.

“Saya ditanya lagi sama mas-mas itu, lho kok belum mulai jualan. Saya bilang nggak ada uang untuk beli balon. Eh, mas itu kasih saya uang lagi, 2 juta. Sejak itu, sedikit demi sedikit dagang balon ini ada hasilnya,” imbuhnya lagi.

Hanya tempo sebulan, Hartati dan Sumaryo berhasil mulai menyicil pinjamannya. Bahkan tak sampai setahun, hutang-hutangnya sudah lunas. Sudah tak terhitung berapa banyak pemuda yang bekerja dengannya dan terentas dari pengangguran. Dan sudah banyak dari para pekerjanya, kini menjadi suplier balon yang memiliki banyak sales seperti dirinya.

“Saya nggak merasa tersaingi. Malah saya senang, saya sudah banyak membantu orang nganggur,”kata Maryo.
Setiap bulan Ramadhan hingga Lebaran, omzet penjualan balonnya meningkat tajam. Jika di hari-hari normal dengan lima pekerja, sekitar Rp 7 juta hingga Rp 9 juta masuk ke kantongnya, pada bulan Ramadhan hingga lebaran, ada 17 sales yang memberikannya keuntungan mencapai puluhan juta rupiah dalam sebulan.

“Pertama kami juga kaget. Dalam sebulan keuntungan sudah bisa saya sisihkan untuk beli lemari. Sebulan kemudian bisa beli kulkas, trus selanjutnya spring bed, motor, rumah...semua kebutuhan yang tidak mungkin kami beli selama ini bisa kami beli,” ungkapnya penuh syukur.

Meski kehidupan Sumaryo dan Hartati sudah lebih sejahtera, keduanya memilih hidup serba bersahaja. Mereka tidak pernah memikirkan untuk memperindah rumah dan isinya Mereka juga berpenampilan seperti sebelum menikmati keberhasilan seperti sekarang.

Tetapi keduanya bukanlah orang yang kikir. Kepada para pekerjanya, sepasang suami istri ini sangat royal. Setiap pagi sebelum para pekerjanya berpencar, sarapan pagi, kopi dan rokok sudah disiapkan. Uang makan siang juga selalu diberikan. Bahkan sepulang bekerja, dan kembali ke rumah Sumaryo, para pekerjanya itu dipersilahkan makan lagi sepuasnya.

Sumaryo juga tidak pelit memberikan balon kepada anak-anak yang bermain di rumahnya. Tak heran jika hampir setiap hari, rumahnya selalu kedatangan para tamu cilik ini. Sumaryo tak pernah mau menerima uang bayaran balon dari para orang tua anak-anak ini. Sumaryo memang dikenal baik di lingkungannya.

“Kalau saya jualan, ada anak yang merengek minta balon tidak dibelikan orang tuanya dengan alasan orang tuanya nggak punya uang. Saya sedih kalau melihat anak kecil sedih,” imbuhnya. Hal ini juga dia terapkan kepada anak buahnya. Tapi, Sumaryo tetap mengganti uang balon meskipun si anak tadi tidak membayar. (cie)