Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 13 : Kisah Hartini, Si Penjual Jamu


Menjadi penjual jamu, tak pernah terlintas sedikitpun bagi mantan asisten perawat di salah satu rumah sakit swasta di Solo ini. Kehidupan yang serba sulit, memaksanya menekuni profesi yang rawan pelecehan oleh lelaki iseng. Dengan berbekal keteguhan hati, menjaga harga diri, keikhlasan dan keramahannya, usaha jamu yang dirintisnya bersama sang suami, kini mulai menunjukkan hasil.




“Jamu…jamune, Maass….”
Suara kenes perempuan berkulit putih ini mengundang beraneka celotehan siapapun yang mendengarnya. Dari yang sekadar menggoda, sampai yang sedikit kurang ajar. Tapi, perempuan asal Solo itu tetap tersenyum ramah dan meladeni pesanan jamu dari para pelanggannya.

“Yah, namanya juga jualan jamu, memang harus ramah. Kalau nggak ramah, mbesengut yo ra payu,” ujarnya tetap dengan gayanya yang centil.

Hartini, nama perempuan itu, sangat menyadari resiko seorang penjual jamu. Terlebih yang memiliki penampilan menarik seperti dirinya. Tak jarang, kata-kata rayuan dan canda menggoda menghampirinya. Bahkan, pernah juga dia diperlakukan kurang ajar yang membuatnya tak lagi bisa beramah-ramah.

“Saya tegas ke bapak itu, ‘Maaf Pak, saya memang penjual jamu. Tapi saya juga punya harga diri.’ Setelah itu, orang itu nggak kurang ajar lagi sama saya,” kisah perempuan yang tak pernah membuat suaminya berprasangka buruk apalagi cemburu buta.

Menjadi penjual jamu memang bukan keinginannya. Saat masih lajang hingga awal berumah tangga, Tini, sapaan akrabnya, menjadi asisten perawat di sebuah rumah sakit swasta di Solo. Sang suami, Sriyadi, saat itu juga masih bekerja di sebuah pabrik.

“Kehidupan yang sulit, membuat suami memiliki ide ke Purbalingga, ke rumah orang tuanya yang sudah lama pindah dari Solo ke Purbalingga. Tapi belum membayangkan mau usaha apa,” tutur perempuan kelahiran Sukoharjo, 3 Mei 1975.

Tahun 1999, dengan membawa putra pertama yang masih berusia 7 bulan, Hartini dan Sriyadi hijrah ke Purbalingga. Orang tua Sriyadi, Arjo Sumito dan Wagiyem tinggal di Kampung Curgecang. Arjo berjualan bakso keliling dan Wagiyem usaha jamu gendong.

Setelah tinggal di Purbalingga, Hartini dan suaminya mengontrak rumah tak jauh dari tempat tinggal orang tua di Curgecang. Hartini akhirnya mengikuti saran ibu mertuanya, berjualan jamu gendong. Setiap hari, berbalut kebaya dan kain jarit, Tini menggendong botol-botol jamu yang berat berkeliling kota.

“Di jalan itu, saya sambil merenung. Kok saya jadi penjual jamu yah? Saya nggak percaya. Sampai-sampai, sering banget saya menangis sambil nggendong jamu. Saya pernah nangis tersedu-sedu di alun-alun, meratapi nasib saya. Sampai orang-orang yang lewat pada tanya, kenapa. Saya ya nggak bisa jawab, cuma bisa nangis dan nangis,” ungkapnya pilu.

Penyesalan dan berat hati menjalani profesi barunya, ternyata membuat rizki Tini menjauh. Hampir setahun, Tini masih berduka, nelangsa serta meratapi nasib menjadi penjual jamu yang dirasakannya seperti kurang dihargai orang.

Dalam perenungan yang lama, akhirnya Tini menyadari. Apapun profesi yang dialokini, asal dijalani dengan ikhlas dan senang hati, rizki akan datang sendiri. Dan benar! Setelah hatinya menerima, lalu bekerja dengan ikhlas dan ceria, dia mulai memiliki pelanggan. Dan lambat laun pelanggannya semakin banyak.

Bahkan, Sriyadi yang saat itu bekerja di kursusan komputer, memilih keluar dan menekuni usaha jamu seperti istrinya, tapi dengan bersepeda onthel. Semula, Sriyadi tertarik juga jualan bakso keliling seperti bapaknya. Tapi karena untuk berdagang bakso modalnya harus kuat, akhirnya jamu menjadi pilihan usaha paling terjangkau.

Tapi, rupanya Allah masih ingin mengujinya. Rumah kontrakannya yang jauh dari layak selalu membuatnya kedinginan karena kerap kebanjiran di saat musim hujan. Dagangan jamu juga selalu tersisa dan terpaksa dibuang sia-sia. Puncaknya, ketika anak kedua mereka meninggal di usia 4 tahun setelah menderita demam tinggi selama berhari-hari.

Tapi, ujian-ujian ini justru membuat Hartini dan suaminya semakin kuat baik fisik maupun psikis. Mereka yakin, jika mereka tabah, tetap berusaha dan mensyukuri dengan karunia yang diberikan Allah, berbagai kesulitan tentu akan berakhir dan berganti dengan berbagai kemudahan.  

Setelah lima tahun menekuni usaha jamu dengan segala jatuh bangunnya, Hartini dan Sriyadi mulai merasakan hasilnya. Mereka sudah mulai bisa menyisihkan laba untuk membeli sepeda motor. Bahkan, merekapun mampu membeli sebidang tanah di Pagedangan. Di tanah inilah mereka dirikan rumah yang mereka tinggali sekarang sejak tahun 2007.  Di tahun yang sama, anak ketiganyapun lahir dan semakin melengkapi kebahagiaan mereka.

Bahkan kini, mereka sudah mulai merintis warung di depan rumahnya. Mereka juga memiliki mitra yang menjualkan jamu mereka di empat pabrik rambut palsu dan dua sekolahan. Sriyadi sendiri menjadi ketua paguyuban jamu di Purbalingga yang anggotanya mencapai 150-an orang. 

Tak berhenti sampai disitu, Hartini dan Sriyadi juga sedang merintis jamu es krim, ciptaan mereka. Konon jamu es krim ini sudah disurvey oleh dinas-dinas terkait dan mendapat pujian dari Wakil Bupati Purbalingga, Drs H Sukento Ridho Marhaendrianto MM.

“Mohon doanya, agar usaha kami ini terus berkembang,” ujar Tini yang bercita-cita membesarkan usaha jamu es krimnya hingga merambah pasar nasional bahkan internasional. (cie)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar