Senin, 26 Mei 2014

Inspirasi 16 : Tak Pernah Jijik, Malah Tertantang


Bagi sebagian besar orang, memandang penderita kusta biasanya tidak tahan dan memilih menjauh. Selain banyaknya luka basah, umumnya penderita kusta yang belum diobati mengeluarkan bau yang tak sedap. Tapi, bagi Rr Retno Asih S, merawat penderita sebuah tantangan yang tak sedikitpun membuatnya jijik.


Retno, begitu sapaan akrab perempuan manis lulusan SPK Depkes Purwokerto ini. Sejak tahun 2009, dia mendapat amanah baru menjadi perawat penderita kusta. Waktu itu, di Desa Banjarkerta, yang masuk menjadi wilayah kerjanya di Puskesmas Karanganyar, baru ditemukan kasus kusta yang menimpa satu keluarga sekaligus.

“Waktu itu, saya ditugaskan menjadi perawat kusta. Lalu saya harus mengikuti pelatihan di Tegal selama kurang lebih tiga pekan,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara pasangan R Kusman P dan Eni Purwati, seraya tersenyum manis.

Selama pelatihan, Retno menjumpai banyak sekali penderita kusta. Mulai dari yang kusta kering (PB) hingga yang kusta basah (MB). Semua peserta pelatihan diwajibkan langsung menyentuh penderita kusta untuk memastikan masih berfungsi atau tidaknya syaraf raba dan rasa para penderita. Padahal, seringkali kondisi mereka sudah parah, terdapat luka yang penuh dengan darah dan nanah. Apakah ada rasa jijik pada awal menyentuh penderita kusta?

“Sama sekali tidak jijik. Saya malah senang sekali, dan tertantang dan pengen disana lebih lama untuk belajar,” kisahnya antusias.

Setelah pelatihan dilakoni, Retno harus kembali bekerja dan benar-benar merawat penderita kusta sebagai bagian pekerjaannya. Sebulan sekali, Retno melakukan monitoring ke rumah penderita kusta untuk memastikan apakah obat yang diberikan diminum sesuai petunjuk, apakah sandal khusus kusta tetap dipakai, apakah ada permasalahan lain yang mengganggu proses pengobatan dan seterusnya.

“Memang harus telaten. Sebab, pengobatan yang sangat lama, membuat mereka malas minum obat teratur. Padahal kalau sampai terhenti sampai waktu tertentu, obat harus diulang dari awal. Karena sebenarnya kalau mengikuti pentunjuk, kusta bisa sembuh,” terang perempuan kelahiran Banyumas, 8 Maret 1981.

Kadang dalam kegiatan monitoring, harus ada acara bujuk-membujuk. Sasaran monitoring tak hanya penderita dan keluarganya, tapi juga masyarakat di sekitarnya. Karena seringkali masyarakat yang tak paham justru mengucilkan penderita yang semakin memperburuk keadaan.

“Setelah kami kumpulkan masyarakat, lalu kami beri penyuluhan, akhirnya mereka mau mengerti dan sikapnya mulai berubah pada penderita. Ini penting, karena setelah penderita sembuh sebenarnya tidak lagi menular dan seharusnya bisa bekerja dan bersosialisasi seperti biasa,” jelas perawat yang telah menjadi PNS DKK Purbalingga sejak tahun 2005.

Sebagai perawat kusta, pada awalnya istri Muhammad Nurwahyudi mendapat tantangan pertama justru dari suami. Setiap Retno pulang, sang suami langsung meminta istrinya untuk buru-buru mandi sebersih-bersihnya.

“Tapi setelah saya jelaskan, lama-lama dia mengerti kalau kusta itu nggak gampang nular,” imbuhnya dengan tetap menebar senyum legitnya. (cie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar