Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 21 : Tak Ingin Tergantung dengan Pemerintah


Kemandirian Fatimah mengupayakan agar usaha mikronya tetap berjalan, patut diacungi jempol. Dari modal awal Rp 2 juta hasil patungan dengan adik iparnya, warga Desa Majasari Kecamatan Bukateja ini mampu mengembangkan produksi aneka makanan kecilnya hingga beromzet Rp 20 juta – Rp 30 juta setiap bulan.

Jauh sebelum menikmati laba Rp 3 juta – Rp 3,5 juta setiap bulan, kehidupan Fatimah penuh dengan kegetiran. Setelah merantau bertahun-tahun merasakan kejamnya ibukota, Fatimah yang tengah hamil tua anak pertamanya di tahun 1997 terpaksa pulang kampung hidup berjauhan dengan sang suami yang tetap bertahan menjadi buruh di sebuah pabrik konfeksi di Jakarta Selatan.


Untuk menyambung hidup di desa, istri Kasio ini membuka usaha jahit pakaian. Semua harus dilakukan karena kiriman dari sang suami masih jauh dari mencukupi. Sampai suatu ketika, di tahun 2005, pasangan suami istri ini bersilaturahim ke kerabatnya di Gombong Kabupaten Kebumen, kampung halaman Kasio.

“Waktu itu kami melihat, kerabat kami itu hidupnya udah enak. Rumahnya udah bagus, dan sudah punya kendaraan yang bagus. Padahal baru beberapa tahun usaha lanting dan seriping pisang,” ujar ibunda dari Wahyuana Kharomah dan Azra Bening Larasati.

Sepulang dari rumah kerabatnya itu, sang suami langsung mengusulkan agar Fatimah mengikuti jejak kerabatnya. Akhirnya, Fatimah kursus kilat selama tiga hari di rumah kerabatnya itu dan langsung pulang ke Majasari untuk mempraktekkan.

“Saya mengajak adik ipar saya, Kasno, untuk patungan masing-masing 1 juta, jadi modal awal kami 2 juta. Pertama kali kami buat lanting sebanyak 6 bal atau sekitar 30 kilogram, dibawa adik saya, istri Kasno yang namanya Khotijah ke PT, tempatnya kerja. Ternyata tak sampai seminggu langsung ludes,” kenangnya sumringah.

Melihat prospek yang cerah ini, Fatimah dan Kasno semakin serius menjalani usaha yang melibatkan anggota keluarga besar, mulai dari memotong-motong, membuat bumbu, menggoreng, mengemas hingga memasarkan. Dari mereka berdua yang melakukannya semua, hingga akhirnya melibatkan 10 orang anggota keluarga sebagai karyawan. Dari jualan keliling hingga bekerja sama dengan lebih dari 200 toko se-Kabupaten Purbalingga.

“Mungkin perkembangan usaha saya tidak sepesat kerabat saya di Gombong. Tapi ini saja kami sudah sangat bersyukur, setidaknya kehidupan kami tidak sesusah dulu,” ujar anak ketiga dari empat bersaudara ini.

Sudah tiga tahun ini juga, Kasio tak lagi merantau dan memilih menggeluti usaha yang telah dirintis istri tercintannya. Jenis produk yang dijualpun semakin bervariasi. Jika di awal hanya memproduksi lanting dan seriping pisang, kini Fatimah dan keluarga besarnya juga memproduksi sale pisang, seriping talas, seriping singkong, gorga jagung dan keripik tempe. Jika semula hanya melakukan penggorengan sekali dalam dua pekan, kini seminggu harus menggoreng sekitar empat kali karena permintaan yang terus meningkat.

“Sebenarnya pesanan produk lainnya banyak. Seperti seriping ubi, kue-kue kering. Tapi sepertinya saat ini belum sanggup. Ya mudah-mudahan akhir tahun ini bisa terpenuhi,” harapnya optimis.

Fatimah merasa sangat bersyukur karena mampu mandiri dan tak bergantung dari gajian perusahaan manapun. Bahkan dia mampu memberikan pekerjaan bagi keluarga besarnya yang masih menganggur. Meski mengaku tak pernah menghitung-hitung laba dan omzetnya, Fatimah selalu mampu meningkatkan modal tiap bulannya sedikit demi sedikit.

“Kalau dibilang kurang, ya pasti kurang. Tapi saya tidak ingin mengandalkan bantuan modal dari pemerintah, karena dana pemerintah kan terbatas sementara usaha mikro yang harus dibina pasti banyak sekali,” tutur pengusaha mikro yang baru menjadi UMKM Binaan Dinperindagkop Purbalingga setelah terdaftar Ijin Usaha PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) di Dinas Kesehatan Purbalingga.

Setelah resmi menjadi binaan Pemkab Purbalingga, Fatimah kerap mengikuti pelatihan baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, yang difasilitasi Pemkab Purbalingga. Dengan adanya fasilitas pelatihan dari Pemkab Purbalingga, cakrawala berpikir Fatimah menjadi terbuka sehingga terpacu untuk terus meningkatkan usahanya.

Salah satu pelatihan yang paling mengesankan ketika dia diikutkan pelatihan di Soropadan. Disini dia berlatih memanfaatkan tepung berbagai umbi-umbian bahkan buah-buahan untuk dibuat makanan kecil.

“Saya juga dipercaya menjadi Ketua Kelompok Penepungan Wanita Tani di Majasari. Melalui ini juga, kami mendapat bantuan mesin selip untuk membuat tepung dari Pemkab Purbalingga melalui Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPPKP). Sehingga kami yang beranggota 10 perempuan menjadi lebih mandiri,” ungkapnya penuh syukur. (cie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar