Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 5 : Tak Mau Mengajar Anak Kota


Rizal Arifin A.Ma – Guru WB di Desa Terpencil



Nun jauh di pelosok Tanalum, sekitar 100 meter dari Curug Karang, seorang guru wiyata bhkati (WB) menghabiskan 24 jam seharinya di sebuah SD. Disini, dia tidur, mandi, mengajar, melatih anak-anak persiapan lomba bahkan memberikan les gratis pada anak-anak dari penduduk setempat. Siapakah dia? Bagaimana kisahnya?
 
Untuk menemui sang guru di SD Negeri 3 Tanalum, kita sebenarnya hanya butuh waktu sekitar 30 menit dari jantung ibukota Kecamatan Rembang kabupaten Purbalingga di Losari. Kita juga bisa kesana dengan bersepeda motor. Tapi bagi yang tidak terbiasa mengendarai sepeda motor di medan yang terjal berliku, sebaiknya berjalan kaki saja ketika memasuki Desa Tanalum. Apalagi kalau hujan mulai turun.

“Saya yang sudah bertahun-tahun ngajar disini saja, udah nggak kehitung berapa kali njungkir karena jalan yang licin dan curam. Malah pernah stang sepeda motor saya sampai terbelah dua,” kenang Rizal Arifin, A.Ma, sang guru wiyata bhakti itu.

Guru Agama Islam yang sempat hidup lama di pesantren dan ahli dalam kesenian rebana ini pernah mengalami kejadian yang tak terlupakan selama nglaju dari rumah orang tuanya di Desa Makam ke Tanalum. Pernah waktu itu, dengan sepeda motornya dia pulang menjelang maghrib dalam keadaan hujan lebat.

“Tiba-tiba ada petir menyambar persis di depan sepeda motor saya. Subhanalloh! Rasanya maut sudah dekat sekali. Setelahnya, saya langung balik ke sekolah, nggak jadi pulang ke Makam dan milih tinggal disini sampai sekarang,” kisahnya.

Bagi orang-orang di lingkungan Dinas Pendidikan, nama Rizal Arifin A.Ma cukup dikenal. Dia beberapa kali mengawal siswa-siswi, khususnya dari UPT Rembang, untuk ikut berbagai lomba hingga tingkat Provinsi. Salah satunya saat mengawal Lomba Rebana dan Pesta Siaga hingga menjadi langganan Juara 1 Tingkat Provinsi Jateng.  

“Rasanya bangga dan senang sekali, membuktikan anak-anak desa itu sebenarnya mampu bersaing. Mereka cuma mindernya minta ampun,” ujar lelaki berkulit legam yang mengawali karirnya sebagai guru baca tulis Al Qur’an tahun 2001 dengan berbekal ijazah MAN Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Meski sudah lama berkiprah di dunia pendidikan, karir guru yang diakui baru dimulai tahun 2007, setelah sukses merampungkan kuliah selama dua tahun dan mengantongi ijazah D2 Pendidikan Guru Agama Islam (PGAI) di Kebumen. Itupun sebatas guru wiyata bhakti dengan gaji di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK).

Tapi hal itu tak menyurutkan semangat Rizal memberikan kontribusi terbaiknya bagi anak-anak didik. Setiap anak didik yang dilatihnya, hampir 95 persen meraih kejuaraan. Rizal memang temasuk perfectionist dalam melatih anak didiknya pada persiapan lomba. Sampai-sampai, pernah suatu ketika anak-anak didiknya malah gagal total karena kerasnya dia dalam mendidik.

“Kalau biasanya anak didik saya asuh nurut dan biasanya banyak menangnya, kali ini agak susah. Anak-anak ini saya drill seperti kakak-kakak kelasnya dulu, tapi malah mendekati hari H pada sakit. Saya jadi merenung, sebenarnya kemenangan itu untuk siapa,” kenangnya merasa bersalah.

Meski keras dan disiplin, Rizal sangat dekat dengan para muridnya. Karena tinggal di sekolah, tiap sore dan malam hari Rizal selalu kedatangan tamu kecil, anak didiknya yang datang minta dibantu mengerjakan PR. Bahkan murid-muridnya yang telah lulus dan duduk di bangku SMP, masih sering main ke sekolah kalau ada pelajaran yang mereka anggap sulit.

“Kadang mereka datang cuma dolan saja. Kadang ada yang curhat. Ada juga yang cuma ingin menginap rame-rame,” tutur bujang kelahiran 19 Juni 1978 yang mengaku belum berpikir untuk menikah.
Tentang menikah, lelaki yang pernah kuliah 3 semester di UNSIQ Wonosobo ini mengaku belum berani berpikir ke arah itu. Semua karena kondisi perekonomiannya yang dianggapnya belum mampu diandalkan.

“Sebagai orang beriman yang pernah belajar agama, saya sama sekali tidak menyangsikan rizki itu Allah yang mengatur. Saya hanya ingin ketika nanti saya menikah, anak-anak dan istri saya bisa hidup layak,” ungkap sulung dua bersaudara dari pasangan Miryo Minulyo dan Sugiyah. Orang tuanya ini sama seperti sebagian besar penduduk rembang lainnya, pedagang ulet yang sering merantau ke luar kota. Ini sebabnya, Rizal bersekolah di kabupaten-kabupaten yang berbeda.

Sebagai guru WB di desa terpencil, penghasilan Rizal memang tak banyak diharapkan. Untungnya, para orang tua siswa memahami kesulitan Rizal ini. Mereka bahu-membahu membantu kehidupan Rizal selama hidup di gedung SD yang letaknya terisolasi dan sangat jauh dari keramaian kota.

“Saya nggak pernah minta. Tapi, anak-anak yang sering pada main atau belajar kesini, kadang ada yang bawa beras, ada yang bawa bumbu, ada yang bawa sayur mentah. Malah kadang ada yang memasaknya di dapur sekolah, trus nanti dimakan bareng-bareng sama anak-anak,” ujar guru yang masa SMP-nya di MTs Al Hikmah Buniayu Kabupaten Brebes, pernah menjadi siswa yang lulus dengan NEM tertinggi.

Lalu, apakah dia akan meminta pengajuan untuk pindah ke sekolah di kota?

“Nggak lah. Saya sudah sangat menikmati di pelosok seperti Tanalum. Anak-anak di kota memang nangkep-nya lebih cepet dan percaya diri sekali, tapi kalau menemui kesulitan gampang menyerah dan cenderung manja. Kalau anak-anak desa, mereka tangguh meski harus telaten banget ngajarnya dan mindernya itu lho…apalagi kalau lomba ketemu sama anak-anak kota, waduuhh….,” ujarnya sambil menepuk jidatnya yang menghitam. (cie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar