Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 11 : Panen Tak Harus Dari Ladang Yang 'Dipaculi'


Tak seujung rambutpun Badrun kecil bermimpi akan mejadi seperti sekarang ini. Menjadi orang kaya dan terpandang di desanya. Bagaimana kisah perjalanan hidup H. Badrun dari supir coak hingga menjadi kades untuk kedua kalinya sekaligus pebisnis yang sukses?




Badrun. Begitu nama yang dihadiahkan orang tuanya ketika dia lahir, 15 Juni 1954 lalu. Sebenarnya, Badrun terlahir dari seorang ayah yang terkenal menjadi tuan tanah masa itu. Hanya saja, belum sempat anak kedua dari pasangan suami istri Saryadipa dan Seni ini menikmati kekayaan, sang ayah terlanjut dijemput maut.

“Istri bapak saya 3, putranya 10, jadi seluruh warisan sudah dibagi. Saya anak dari istri ketiga Bapak. Saya masih kelas satu SD waktu itu. Yang saya ingat, saya ingin sekali punya sepeda, tapi ibu saya bilang, dia nggak punya uang, saya cuma bisa menangis sedih. Mau bagaimana lagi?” kenangnya.

Badrun kecil hidup dalam keprihatinan. Selulus SD, dia memutuskan untuk bekerja. Untunglah Korem 071/Wijayakusuma Banyumas (saat itu berlokasi di Sawangan-red) membutuhkan tenaga montir di bengkelnya dan menerima Badrun yang belum paham mesin kendaraan sama sekali.

“Saya belajar cepat, dan alhamdulillah bisa. Saya berangkat dari Toyareja ke Sawangan Banyumas pulang pergi naik sepeda. Jauh memang, tapi saya lakoni, karena saya butuh uang,” tutur pengagum Presiden Kedua RI, Soeharto ini.

Setelah bertahun-tahun mbengkel sambil berlatih nyetir, tahun 1976 Badrun merasa sudah mampu menjadi supir betulan. Diapun keluar kerja dan mendaftar menjadi supir barang di Bobotsari. Mencari tantangan baru, tahun 1977, Badrun mulai beralih menjadi supir angkutan desa yang mengangkut penumpang. Masih di Bobotsari dan masih dengan mobil bak terbuka atau coak.

Dari informasi seorang saudara yang bekerja sebagai Agen Pamong Praja di Pemda Purbalingga, Badrun mendaftarkan diri sebagai supir di Pemda. Tanpa seleksi seperti masa sekarang, Badrun diterima dan ditempatkan sebagai supir Kepala Bagian Tata Pemerintahan di tahun 1978.

“Waktu jadi supir angkudes, penghasilan saya 2.500 rupiah per hari. Jadi rata-rata penghasilan saya bisa mencapai 75 ribu rupiah sebulan. Begitu jadi pegawai negeri, gaji saya cuma 8 ribu sebulan. Saya kaget sekali, wah bisa-bisa saya nggak betah nih, pikir saya waktu itu,” ungkapnya.

Badrun tak lantas meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai pemerintah. Meski bergaji kecil, Badrun berprinsip, penghasilan tak harus datang dari pekerjaan utama. Tapi bisa dari mana saja, yang penting halal dan tidak mengganggu pekerjaan utama. Panen ora kudu nang lemah sing dipaculi. Setelah menikahi Darsira, Badrunpun memberikan tabungannya untuk modal usaha sang istri berdagang sembako kecil-kecilan.

Tahun 1989, saat begadang bersama kawan-kawannya, Badrun guyon mau nyalon Kades Toyareja. Tak disangka guyonan ini disambut antusias rekan-rekannya. Sayangnya, keberuntungan belum berpihak padanya. Terpaut selisih 41, dia dipecundangi lawan politiknya.

Kekalahannya dalam pilkades saat itu, membukakan mata hati Badrun yang selama bertahun-tahun seolah pasrah dengan keadaan, membiarkan dirinya dalam kesulitan ekonomi dan dihina. Badrun mulai berpikir, dia harus memulai usaha yang mampu meningkatkan taraf hidup dia, sang istri dan dua orang putranya. Agar orang tak lagi bebas menghinanya.

Di tengah usahanya memutar otak mencari peluang usaha, tiba-tiba datanglah kerabatnya, seorang Lebe (Kayim) bernama Sunarno, yang memberi info padanya betapa prospeknya berbisnis gurame. Usulan sang sahabat, disambutnya dan langsung diaplikasikannya. Berbekal ilmu yang dipelajari secara otodidak, Badrun mengambil seluruh tabungannya untuk membeli beberapa kilogram bibit gurame dari Pasar Purwonegoro, Banjarnegara.
Mulai tahun 1990, Badrun memantapkan diri berbisnis gurame.

Persis seperti yang diprediksikan sang sahabat, bisnis guramenya maju pesat. Di saat petani gurame lainnya kewalahan dengan berbagai penyakit yang menyusutkan penghasilannya, bisnis Badrun justru berkibar. Para pembeli datang sendiri ke kolamnya dan transaksi di tempat. Dalam tiga tahun menekuni bisnis gurame, tahun 1993 Badrun sudah mampu membeli angkot.

“Kiat saya, saya tidak pake pelet, tapi hanya pake ijo-ijoan (dedaunan-red) dan bungkil tahu. Bahan yang murah, alami dan membuat gurame tahan penyakit. Jadi modal saya kecil tapi keuntungan besar,” jelasnya.

Sampai tahun 1995, telah genap tiga unit angkot dimilikinya. Diapun memperbaiki rumah, membeli beberapa bidang tanah di Purbalingga dan Purwokerto, membangun usaha mini market, dan bahkan merambah ke bisnis angkutan taksi di Purwokerto hingga memiliki lima armada taksi.

Setelah sukses di bidang bisnis, diapun kembali menjajal keberuntungan di Pilkades Toyareja tahun 1998. Ternyata, perhitungannya tidak meleset. Diapun memimpin desa kelahirannya hingga tahun 2006. Menjelang purna sebagai kades, Badrun bersama keluarganya berangkat haji dengan fasilitas ONH Plus.

Setelah istirahat satu periode, Badrun kembali mengikuti kompetisi Pilkades tahun 2013 dan kembali mendulang sukses. Lalu apalagi yang ingin dia capai? Badrun mengaku ingin menjadikan Toyareja sebagai sentra Duren, Kelengkeng dan Duku. Dia juga tengah merintis usaha bus pariwisata. Wow, inspiratif sekali, ya? Siapa mau mengikuti jejaknya? (cie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar