Senin, 26 Mei 2014

Pesan Bersahaja Bapak


Sewaktu sekolah dulu, aku selalu merasa paling tidak keren. Tak pernah bersepatu kets mahal. Tak pernah berjam tangan bermerk. Tak pernah ber-Tshirt up to date seperti di majalah remaja jaman itu.

Bukan karena aku nggak ngerti mode. Bukan karena aku memiliki pemahaman agama yang canggih. Bukan pula karena aku jenis remaja kutu buku. Bukan! Semua karena Bapakku! Lho kok bisa..?

Kata orang bapakku pejabat. Kata orang bapakku termasuk orang berada. Kata orang bapakku temasuk orang berpangkat tinggi.

Tapi mengapa aku hanya bersepatu kain merk Stroberi dengan harga Rp. 10rb, disaat teman-temanku bersepatu sport merk Eagle dengan harga Rp. 98 rb saat itu..? Kenapa jam tanganku tidak bermerk, yang seringkali hanya bikin gatal saat tanganku berkeringat, sementara teman-temanku memakai jam merk Alba atau Rolex? Lalu kenapa aku hanya pakai kaos oblong biasa sementara teman-temanku ber-Tshirt merk Osella dan Hammer yang lagi tren saat itu? Padahal orang tua teman-temanku itu staf bapakku atau setidaknya berpangkat jauh di bawah bapakku?

Saat itu, aku protes. Protes kepada Bapakku yang kata orang, pejabat. Protes kepada Bapakku yang kata orang, bergaji besar…!

“Kenapa Bapak tidak pernah bisa belikanku sepatu sport yang mahal dan keren sperti teman-temanku…? Kenapa bapak tidak pernah belikanku jam tangan bermerk terkenal seperti teman-temanku…? Kenapa…???”

Bapak tertegun memandangku. Wajahnya yang teduh seperti berusaha memahami emosiku yang meluap hingga ubun-ubun…

“Anakku sayang, suatu ketika kamu akan bangga dengan kesederhanaan ini,” ujar Bapak singkat tanpa kumengerti maksudnya.

Bertahun-tahun kemudian, takdir mengantarkanku menjadi salah satu pegawai di lingkungan kantor yang dulu menjadi kantor Bapakku. Teman-temanku adalah teman-teman almarhum Bapakku. Atasan-atasanku, dulu adalah staf-staf Bapakku.

“Bapakmu orang yang luar biasa. Sangat giat bekerja. Benar-benar abdi negara”

“Bapakmu…subhanallah, sepertinya saat ini sulit mencari PNS sebersih dan sejujur beliau”

“Bapakmu dulu memang seorang pejabat. Tapi sangat bersahaja. Semua tukang sapu kabupaten akrab dengan beliau. Beliau sosok teladan”

“Bapakmu tak pernah mau tanda tangan dan menerima uang yang bukan haknya. Dia sempat dibenci orang-orang yangg curang. Tapi lebih banyak orang yang mencintai karena kejujuran dan dedikasinya yang tidak diragukan”

Dan…masih banyak sekali pujian-pujian yang kudengar tentang Bapak. Sosok yang pernah kuprotes karena kesederhanaannya. Sosok yang membuatku bertanya-tanya, kenapa uang sakuku hanya sedikit tak seperti teman-temanku yang bapaknya hanya staf bapakku…

Ternyata, selama menjadi seorang abdi negara, bapakku hanya menikmati gajinya semata. Hanya menikmati yang benar-benar menjadi haknya. Yang benar-benar hasil jerih payah,cucuran keringat, dan perasan otaknya yang cemerlang…

Bapak hanya menempatkan diri sebagaimana porsinya. Seorang pejabat sejatinya tetaplah pelayan masyarakat, karena yang nggaji masyarakat. Ada banyak hak di setiap penghasilan yang diterima. Juga ada banyak tuntutan di setiap lembar uang yang masuk dompetnya. Lalu, pantaskah jika masih ada hak orang banyak yang ditelan, diakui, dimiliki, diselundupkan, disertivikasi atas namanya, ……

Ahh…Bapak… Aku sungguh malu mengingat saat itu. Kini kumengerti arti kalimatmu, “Kamu akan bangga dengan kesederhanaan ini”

Benar, Bapak. Aku memang bangga. Sangat bangga, memiliki Bapak yang jujur, bersahaja dan seorang abdi negara sejati. Sosok yang amat langka saat ini.

Bapak…semoga aku bisa mewarisi nama baikmu. Warisan yang menurutku, jauh lebih berharga dari harta…

Semoga kau mendapat tempat terbaik di sisi Nya….amin….


*Untuk Alm. Bapak tercinta…Drs.Soeroso (2 Februari 1942 s.d. 11 Agustus 1997)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar