Sabtu, 23 Januari 2016

Dari Hobi, Susi Optimis Raih Mimpi



Biasa memiliki penghasilan sendiri dari bekerja, Susi yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga merasa resah saat sedikit-sedikit harus minta uang ke suami yang berprofesi sebagai supir di ibukota. Siapa sangka hobi di bidang ketrampilan dan aktif di PKK membuatnya menjadi pelaku usaha cukup dari rumah?

Senin, 18 Januari 2016

Empat Fakta Unik tentang Purbalingga

Purbalingga memiliki beragam keunikan yang sangat mungkin tak dimiliki oleh kabupaten lainnya. Inilah 4 fakta unik tentang Purbalingga.

1.    Beringin yang ada di alun-alun saat ini, bukan beringin yang sama dengan tahun 1905

Salah satu ciri khas kabupaten-kabupaten di tanah Jawa, antara lain memiliki alun-alun di dekat pusat pemerintahan. Tak terkecuali Purbalingga. Dan salah satu ciri khusus alun-alun ala Jawa tentu pohon beringin yang menjulang bersisian.

Tahukah Anda, ternyata pohon beringin yang saat ini berdiri gagah di alun-alun bukanlah beringin yang sama dengan beringin di tahun 1905-an. Perhatikan foto alun-alun tahun 1905 koleksi Tropenmuseum Belanda, pohon beringinnya sudah cukup lebat kan?

Alun-alun Kabupaten Purbalingga Tahun 1905 (Koleksi Tropenmuseum Holland)

Jumat, 15 Januari 2016

Sorogan, Bentuk Bhakti pada Pemimpin


Pimpinan haruslah dihormati. Mungkin itulah filosofi warga Sidanegara hingga turun-temurun. Dan bhakti itu mereka wujudkan dalam bentuk : Sorogan!
 
Atmo Sudarno, Mantan Sekdes Sidanegara

Bagi masyarakat Sidanegara, tradisi Sorogan tak bisa dilepaspisahkan dari setiap acara hajatan. Siapapun warga yang akan mbarang gawe,

Kamis, 14 Januari 2016

Transformasi Mengagumkan Mantan Buruh Migran


Orang mengenal Malikhatun Nur sebagai sosok aktivis masyarakat yang sukses mendirikan sekaligus mengelola PAUD.Siapa sangka, putri sulung seorang tokoh agama di Kecamatan Kaligondang ini pernah menjadi buruh migran (TKI pekerja kasar) yang mampu membuat keluarga majikannya tak sanggup melupakan jasanya. Ikuti transformasi kehidupannya yang sangat menginspirasi!

Liah bersama beberapa dari 70-an muridnya di KBIT Mutiara Hati Kaligondang

Rabu, 13 Januari 2016

Gerinda Akik



Oleh: Estining Pamungkas

Senja datang. Sinar surya terburu-buru rebah di pangkuan mega. Ranting-ranting tua bergetar dan berjatuhan dihembus bayu yang lelah. Selelah rautmu yang seharian penuh duduk terpekur menekuni helai-helai rambut untuk dijadikan bulu mata palsu.
Kau susuri jalan padat dengan sepeda motor hasil kreditan. Ya, sejak diangkat menjadi buruh tetap di pabrik bulu mata palsu terbesar di Bumi Perwira itu, tanpa pikir panjang, kau mengambil kredit sepeda motor. Tapi bukan itu satu-satunya alasan mengapa kau rela bekerja di bawah tekanan mandor-mandor yang kemarahannya membuatmu enggan untuk sekedar menghela nafas.
Terbayang polos wajah anakmu di pelupuk. Tak terasa titik-titik air meleleh di pipimu. Tubuh kecil itu sangat rapuh. Di usianya yang empat tahun, untuk dudukpun tak mampu. Apalagi berdiri, berjalan dan berlarian seperti anak seusianya.
Bu Bidan mengatakan kemungkinan anakmu menyandang cerebral palsy. Semacam kelumpuhan karena kerusakan otak yang tak mungkin sembuh. Diagnosa seharusnya ditegakkan oleh dokter ahli. Tapi, apa daya, dokter itu adanya di kota besar.
“Tapi bisa diajarkan mandiri. Yang penting harus diterapi di rumah sakit. Harus tiap hari,” ujar Bu Bidan bertubuh tambun namun sangat ramah dan perhatian itu.
Lidahmu kelu. Hanya dengan bekerja di pabrik kau bisa mengikuti BPJS tanpa harus terpikir untuk membayarkannya sendiri seperti membayar listrik. Artinya tak masalah untuk biaya terapi di rumah sakit pemerintah.
Namun ternyata itu tidak cukup. Perjalanan dari rumahmu menuju ke rumah sakit terlalu jauh. Untuk bisa bolak-balik setiap hari, berapa biaya untuk membayar ojek, mikrobus dan angkot? Kredit motor memang satu-satunya pilihan.
Kau berharap lelaki itu, yang kau sebut suami, mau mengantar anakmu terapi. Daripada hanya bermalasan dengan game di smartphone yang diperolehnya entah dari siapa.  Atau main gitar dan nongkrong di pinggir jalan.
Bebeh temen ngurusi bocah cacat![1]” ujar lelaki itu setengah memaki. Sepeda motor yang kau beli dengan menebas gajimu yang tak seberapa itu, ternyata hanya dipakai untuk kelayaban[2] oleh suamimu. Bahkan, kau dengar suamimu itu telah memiliki pacar anak SMA.  
Kau bergetar murka mengingatnya. Itu sebabnya, kau ambil alih sepeda motor itu untuk bekerja. Dan terapi untuk anakmu itu, baru sekadar rencana yang entah kapan dilakukan.
Terpaksa, selama bekerja kau titipkan anakmu ke rumah uwamu. Uwa yang selama ini mengurus dan membesarkanmu setelah kedua orang tuamu meninggal tertimpa longsor saat kau masih balita. Kau sungguh tak tega membebani saudara tua mediang ibumu itu untuk mengantar anakmu terapi. Tiap hari pula.
Senja berganti malam, saat sepeda motor itu kau parkir di halaman rumah. Gubug warisan orang tuamu yang sudah kau renovasi sedikit-sedikit, agar layak disebut rumah.
Begitu pintu kau buka, aroma busuk tercium. Bergegas kau masuk ke kamar. Ada anakmu yang tidur menggeliat-geliat tak nyaman. Kau geram. Kotoran anakmu telah mengering.
“Lho, Nur…Jebul ko wis bali?[3] Bikinin aku kopi dan masakin air buat mandi,” perintah lelaki itu setelah muncul tiba-tiba tanpa rasa bersalah.
Kau berang. Merasa lelaki itu tidak tahu diuntung.
“Uwa sakit, jadi tadi Rangga diantar balik gasik,” tambahnya enteng, seraya merebahkan badan di depan tv.  Tangannya lalu sibuk memencet-mencet tombol remote control mencari acara tv yang membuatnya riang.
“Trus kenapa kakange[4] tidak membersihkan Rangga? Ini kotoran sampe kering! Matanya juga sembab. Kakange biarkan dia menangis saat BAB sampai dia tertidur?!” teriakmu.
Lelaki itu berdiri. Membanting remote tv di tangan. Wajahnya memerah seperti sapi jantan bertanduk yang siap mengamuk.
“Aku bosan dengan hidup ini. Bosan punya anak cacat! Bosan sama kamu! Bosan sama semuanya!” umpatnya sambil menuding-nuding persis di depan mukamu.
Ditendangnya kursi anyaman bambu yang baru digunakannya untuk duduk.
“Aku juga bosan sama kakange! Uwis ora pakhal[5], maunya dilayani. Nggak bisa diajak brayan[6]! Dasar pemalas!”
Plakk!!
Tamparan keras mendarat di pipimu. Kau tersungkur, memegangi perih pipimu. Pipi yang dulu pernah diusap-usap lembut lelaki itu. Lelaki yang membuatmu hamil sebelum ijab qobul direncanakan. Yang membuatmu memohon – mohon pertanggung jawabannya.
Lelaki itu sempat lenyap. Membuatmu cemas dan kalap. Dukun beranakpun kau paksa untuk menggugurkan janin. Tanpa ampun perut besarmu dipijat-pijat dan dipukul. Aneka ramuan aneh terpaksa kau minum. Meski membuatmu menjerit-jerit karena tak kuasa menahan rasa mulas yang mengerikan. 
Tapi janinmu sangat ingin hidup. Tuhan masih memberinya kesempatan menghirup udara dunia. Dia semakin kuat dan membesar di perutmu. Lambat laun, lelaki itupun muncul. Dia bersedia menikahimu. Dan Ranggapun terlahir ke dunia dengan fisik tak berdaya.
“Ya sudah! Kalau gitu, aku minta cerai saja! Aku sudah tidak tahan hidup seperti ini. Aku bisa hidup lebih tenang tanpa kakange!”
Lelaki itu meludah. Membanting pintu lalu pergi meninggalkan rumah. Rangga terbangun karena kaget, dan merengek. Derai air mata tak mampu kaubendung. Kaupun beranjak membersihkan kotoran Rangga. Semalaman itu, kau tak sanggup berhenti tersedu hingga kepalamu terasa berat dan ngilu. Meratapi nasib yang tak kunjung membaik.
***
Ragu kakimu melangkah menuju Balai Desa. Siang yang senyap. Melalui pintu yang terbuka, kau melihat Pak Modin[7] seorang diri sedang sibuk di depan layar komputer.
“Kulanuwun, Pak,” sapamu sopan.
Lelaki separuh baya itu melemparkan pandangan padamu.
“Ko ora kerja, Nur?[8]
“Ijin, Pak. Bade kepanggih bapake[9]
Pak Modin melepas kacamata bacanya. Diapun berdiri dan mempersilahkanmu duduk di kursi tamu.
“Pangapurane, perangkat liyane karo Pak Kades lagi muyi[10].
“Bayinipun sinten, Pak[11]
“Bayine Si Las, anake Mbok Darkum[12],”
“Ooo….”
Pak Modin menatapmu penuh tanya. Kaupun terlihat kikuk.
Ana apa, ngasi ora mangkat kerja kur arep mengeneh?[13] Kamu nggak takut dimarahi mandormu?”
Kau menggeleng pelan. Tertunduk bingung.
“Nuwun sewu, Pak Modin, saya mau menggugat cerai suami saya, Pak,” ujarmu lirih.
Tanpa disangka, Pak Modin malah tersenyum.
Wis tek kira, mesti ko ora bakal kuwat. Bojomu kuwe ora pantes dipertahankan,[14]” tegasnya.
Rupanya ketidakharmonisan rumah tanggamu sudah lama tercium oleh banyak orang. Termasuk para perangkat desa. Mungkin mereka iba dengan kondisimu.
Pak Modin dengan senang hati membantumu. Mengurus surat-surat ke Pengadilan Agama. Hingga akhirnya lelaki itu, yang tengah kau gugat cerai, kembali ke rumahmu, suatu malam.
“Mau apa lagi?!” jawabmu ketus.
“Kau serius mau minta cerai?”
“Tentu saja! Biar kau bebas. Aku juga bebas”
“Nur…..”
Lelaki itu mengeluarkan sejumlah uang. Ya, beberapa lembar uang berwarna merah bergambar duo proklamator. Diserahkannya uang itu padamu.
“Apa ini? Kakange habis nggarong?![15]
“Hussstt….jangan berpikiran jelek terus. Ini uang hasil penjualan batu untuk bikin akik. Sekarang bermodal ngarah[16] batu di Kali Klawing, aku bisa punya uang. Kiye nggo ko karo Rangga[17]. Terimalah…”
Kau tertegun. Bergantian memandangi lembaran uang itu dan lelaki yang masih menjadi suamimu. Tak percaya. Tapi, aroma kesungguhan menyeruak di wajah lelaki yang pernah membuatmu tergila-gila.
Tiba-tiba air mukanya berubah sendu. Cairan bening tergenang di pelupuknya. Diapun berlutut, terisak-isak, memohon maaf padamu. Dia merasa tak berguna dan buntu.
“Aku bukannya tidak ingin kerja, Nur. Tapi tak ada yang mau mempekerjakan aku. Aku sudah berusaha.”
Tubuhnya terguncang. Air matanya tumpah di daster kumal yang membalutmu.
“Untung saja sekarang sedang booming akik. Hanya dengan mencari batu, aku bisa dapat uang. Beri aku kesempatan, Nur! Beri aku kesempatan menebus kesalahanku, padamu dan pada Rangga! Beri aku kesempatan menjadi suami dan ayah lagi!” pintanya memohon.
Lelaki itu terus meraung. Memeluk lututmu erat. Hatimupun luluh. Luluh karena masih ada sisa cinta yang telah lama tidak tersemai.
Sidang perceraian dibatalkan. Kau terlihat semakin rukun dan mesra dengan suamimu. Rangga mulai mengikuti terapi di rumah sakit. Kini tangan lemahnya sudah mampu melambaikan tangan ‘dadah’ saat kau berpamitan untuk bekerja.
Suamimu benar-benar membuktikan diri menjadi suami yang baik. Dia mengambil alih pembelian beras, listrik dan bahkan membeli kursi roda untuk Rangga. Dia juga mau mengurus Rangga, dan sudah jarang berkumpul lagi dengan teman-teman penganggurannya.
Kau sungguh ingin berterima kasih dan memberikan hadiah untuk suamimu. Sebuah gerinda listrik untuk mengasah batu menjadi akik. Suamimu bilang, sekali mengasah, bisa dapat ongkos Rp 15ribu sampai Rp 25 ribu. Kalau sehari empat sampai lima kali mengasah, seratusan ribu masuk kantong.
“Tiga juta satu bulan, Nur. Tiga juta untukmu sayang, juga untuk Rangga,” ujar suamimu berangan-angan seraya memelukmu malam itu. Pergumulan romantis dihelat. Kau merasa sangat bahagia. Perasaan yang sempat menguap entah kemana.
Suatu sore, sepulang kerja, kau bergegas pulang. Gerinda listrik sebagai kejutan sudah disiapkan. Kau membelinya dari suami temanmu yang kini menjadi perajin mesin Gerinda akik. Lima kali pembayaran setiap kali gajian.
Terbayang semburat bahagia terpancar di raut suamimu. Sudah lama kau tak pernah merasa begitu bergairah. Kau tak tahan untuk segera merasakan hangat peluknya.
“Ooowhh…kakange..kakange…,” gumammu sambil tertawa sendiri. Persis gadis remaja yang tengah gila karena kasmaran.
Memasuki halaman rumahmu menjelang gelap. Ada yang tak biasa. Disana berkumpul banyak orang. Termasuk orang-orang asing berseragam. Perasaanmu menjadi tidak enak.
Suara rengekan Rangga terdengar dari dalam. Begitu kau muncul di balik pintu, semua orang memandangmu trenyuh.
Kau terkesiap. Lelaki yang kembali kau cintai, yang akan kau beri kejutan, terlebih dulu memberimu kejutan. Kejutan yang tidak pernah kauharapkan. Terbujur kaku dengan tubuh basah, menggelembung dan luka disana-sini. Busa-busa halus masih mengalir dari hidung dan mulutnya.
Bojomu keli nang Kali Klawing mau awan pas ngarah watu. Nembe ketemu miki sore nang brug dusun wetan. Sing sabar ya, Nuur….,[18]” bisik Uwa memelukmu seraya terguguk, pilu.
Kau bahkan tak mampu terpekik. Tak berapa lama, tubuhmu limbung, dan roboh. Para pelayat jejeritan menolongmu. Kau rasakan dunia teramat gelap. Gerinda listrik di tanganpun jatuh berantakan. Serupa dengan mimpimu yang hancur berantakan, tersapu angin malam. Hilang bersama perginya sang pujaan. (*)


[1] Ah, malas amat ngurusi anak cacat!
[2] Keluyuran
[3] Lho Nur, ternyata kamu sudah pulang?
[4] Abang
[5] Udah nggak kerja
[6] Brayan = kerjasama
[7] Modin = Kepala Urusan Kesejahteraan di Pemerintahan Desa
[8] Kamu nggak kerja, Nur?
[9] Mau bertemu dengan Bapak
[10] Mohon maaf, perangkat lainnya dan pak Kades sedang menengok bayi
[11] Bayinya siapa, Pak?
[12] Bayinya Si Las, anaknya Mbok Darkum
[13] Ada apa tidak berangkat kerja hanya untuk kesini? Kamu tidak takut dimarahi mandormu?
[14] Sudah aku duga. Kamu pasti tak akan kuat. Suamimu itu tidak pantas dipertahankan.
[15] Abang habis merampok?
[16] Ngarah = mencari
[17] Ini untuk kamu dan Rangga
[18] Suamimu hanyut di Sungai Klawing tadi siang saat mencari batu. Baru ketemu tadi sore di jembatan dusun timur. Yang sabar ya Nur.


(Cerpen ini dimuat di Majalah Pemkab Purbalingga Edisi 99 Tahun 2015, terinspirasi dengan boomingnya fenomena batu akik yang melanda Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah saat itu)

Selasa, 12 Januari 2016

Bapak


Kupikir dia tak menyayangiku. Hanya karena dia tak selalu ada di saat kurindu. Aku bersyukur karena aku salah sangka. Love You Dad.


Aku dan Bapak
Seperti malam-malam sebelumnya, aku harus memijat punggungnya hingga tertidur. Tapi anehnya, aku tak pernah bosan dan berat hati melakukannya. Karena di saat-saat itulah aku bisa berada dekat dengannya. Bapakku.
“Hayo ngantuk, ya?” ujarnya seraya mencubit hidungku. Ups, ketahuan deh ngantuk. Seharusnya Bapak dulu yang tertidur karena pijatanku. Ternyata, sebaliknya. Hihihi…
“Ya sudah. Kamu dah cape yah? Istirahat dulu,” tuturnya lembut.
Dengan suka cita, akupun berbaring di sisinya. Hal yang sulit sekali terjadi sebelum beliau sakit. Yah, Bapak sudah berbulan-bulan tidak lagi bekerja karena penyakit diabetesnya yang semakin akut.
Dulu, saat beliau masih segar bugar, hampir seluruh waktunya dia curahkan untuk bekerja. Aku hanya melihatnya saat makan pagi, dan malam saat aku beranjak tidur.
Sejujurnya, sebelum malam itu, aku hampir tak mengenal Bapakku seutuhnya. Aku hanya tahu kalau dia adalah laki-laki yang membuatku ada, melalui rahim ibuku. Kedisiplinannya, kerapihannya, dan tata krama yang diajarkannya dengan sedikit keras, membuatku takut dan segan.
Aku, dan semua kakakku, biasanya lebih dekat dengan ibu. Peraturan ibu yang agak longgar, tak sungkan memeluk, mencium dan memuji, membuat kami nyaman.
Menjadi sebuah hal yang lumrah, jika saat kami bermanja dengan ibu didepan tv, dengan posisi tiduran sekadarnya, tiba-tiba terdengar suara mobil Bapak masuk garasi, otomatis kamipun merapikan duduk. Jika ada sampah tercecer, kami harus segera membereskan. Yang tak rapi harus dirapikan. Tegang? Ya, sedikit.
Kalau kami nakal, dan sulit diarahkan, biasanya ibu atau Mba Wulan, kakak pertamaku, akan menakut-nakuti kami dengan melaporkan kenakalan kami pada Bapak. Kalau sudah begitu, kami pasti akan menghentikan kenakalan kami. Seperti hp yang di-silent. Langsung kalem.
“Kamu ngalamun, Ki?”
Suara Bapak membuyarkan lamunanku. Sambil tersenyum, akupun memanfaatkan momen ini untuk mengklarifikasikan semuanya.
“Bapak, Engky boleh tanya?”
“Ya, tanya saja,” jawabnya lembut.
“Kenapa selama ini Bapak lebih suka kerja daripada kami?”
Bapak memandangku lekat. Pandangannya kemudian berpindah ke langit-langit kamar. Menerawang.
“Dulu, Bapak mengira, cara seorang Bapak menyayangi anaknya itu ya dengan memenuhi segala kebutuhan anak-anaknya. Bapak pikir, cukuplah ibu yang mewakili kebersamaan dengan kalian. Makanya Bapak bekerja segiat mungkin, agar Bapak  bisa membelikan apapun yang kalian butuhkan,” jelasnya pelan.
Terdengar desah nafas panjangnya.
“Ternyata Bapak salah. Maafkan Bapak, yah?”
Aku memandangnya trenyuh. Tanpa mampu berkata apapun, aku memeluknya. Diapun balas memelukku.
“Engky yang minta maaf. Karena selama ini Engky salah sangka sama Bapak,”ungkapku tersedu.
Malam itupun, kami bercerita ngalor-ngidul. Seru sekali. Mulai dari masalah perpolitikan. Kata Bapak, seharusnya Pak Harto mundur segera dari presiden. Istilah tata negara jawa, itu Noto Nagoro. Bukan Nototototo nanti bakal ada goro-goro. Maksudnya, setelah Sukarno, seharusnya Pak Harto cukup satu periode saja menjabat lalu digantikan dengan yang lainnya. Kalau Pak Harto terus memaksakan diri berkuasa, nanti akan ada goro-goro, atau kekacauan.
"Ih bapak, kalau Pak Harto bukan presiden, lalu siapa presidennya? Apa ada?" tanyaku khawatir. Maklum, saat itu rasanya hampir tidak mungkin ada kesempatan bagi orang lain untuk duduk menjabat sebagai presiden selain Pak Harto. Dan bagi seorang PNS seperti Bapak, sangat riskan membahas masalah seperti ini.
"Masa dari ratusan juta jiwa penduduk Indonesia nggak ada yang bisa jadi presiden selain Pak Harto? Haha, kamu ada-ada aja," katanya ringan. Akupun hanya mengangguk-angguk ragu. Tak kusangka sama sekali setahun kemudian, goro-goro itu nyata terjadi.
Lalu kami mulai cerita yang ringan-ringan. tentang masa lalu Bapak. Bapak bahkan tanpa sungkan bercerita tentang masa kecilnya yang sering dilarang eyang kalau mau memanjat pohon. Atau perempuan istimewa keturunan Kraton Solo yang meminta dinikahi saat Bapak kuliah di UNDIP. Hingga kisah mendebarkan saat akan melamar ibu, sang kembang desa.
“Bapak melamar ibu dengan proposal lengkap dengan biodata? Dikasihkan ke Mbah Kakung? Seperti melamar pekerjaan ya, Pak…haha.”
Kami ngobrol dan tertawa bersama hingga pagi. Ya, saat itu ibu sedang bertugas sebagai Tenaga Kesehatan pada musim haji di Mekkah. Mbak Vita dan Mas Tommy masih tinggal di luar kota untuk kuliah. Mbak Wulan yang baru diwisuda sarjana, sudah terlebih dulu tidur karena kecapean. Maklum saat itu, Mbak Wulan yang suka kerapian (satu-satunya yang menuruni Bapak, hehe) menggantikan tugas-tugas ibu. Apalagi saat itu, kami juga belum dapat pembantu, karena kamitinggal di rumah kami yang baru selesai rehab di Majasari.
Beberapa bulan kemudian, kondisi Bapak semakin menurun. Setelah tak satupun rumah sakit di eks Karesidenan Banyumas mampu menanganinya, pada akhirnya Bapak dirujuk ke RS Elisabeth Semarang. Akupun sendirian di rumah, karena Mbak Wulan dan Ibu harus menjaga Bapak. Sedang aku masih harus sekolah. Memang sesekali ada saudara yang menemani. Tapi hatiku terasa sangat sepi.
Aku tak tahu apa yang terjadi pada Bapak disana. Semua orang tampak sibuk sampai-sampai tak ada yang memperdulikanku. Aku rindu Bapak, sekaligus khawatir. Aku ingin ke Semarang tapi tak tahu harus bagaimana caranya.
“Engky udah ke Semarang, belum?” tanya teman ibu suatu hari. Teman kerja ibu ini mau berangkat ke Semarang dengan rombongan Puskesmas Purbalingga. Sebelum ke Semarang, kebetulan mereka mampir dulu ke rumah Majasari.
Akupun hanya menggeleng lemah dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya semuaorang baru menyadari, kalau aku sebenarnya ingin melihat kondisi Bapak. Dengan menumpangmobil Puskesmas Keliling, akupun ikut ke Semarang.
Di salah satu ruang di bangsal Xaverius, disana Bapakku dirawat. Saat kusaksikan pertama kali, aku langsung syok dan berlinangan air mata. Bapaksangat – sangat kurus. Kulitnya kusam menghitam. Begitu banyak selang menancapdi tubuhnya. Ya Allah, pasti Bapak sedang sangat menderita.
Tak kuasa, akupun berlari ke sudut koridor. Aku menangis sepuasnya.Belum lama kebersamaan kami terjalin, belum lama aku bisa tertawa lepasdengannya, apakah kini Kau akan menjemputnya, ya Allah?
Akupun ikut menjaga Bapak di rumah sakit, tanpa terpikir tentang ulangan mid semester yang sedang berlangsung. Tiap malam aku harus menahan kegetirandemi mendengar rintihan lara Bapak.      .
Saat Ibu dan Mba Wulan terus terjaga dan sibuk membimbing doa Bapak, aku pura-pura tertidur. Padahal aku sama sekali tak bisa tidur. Air mataku terus berlinangan membayangkan betapa sakit yangdiderita Bapak. Tak tahu apa yang mesti aku lakukan. Bodohnya aku! Amat sangatbodoh! Aku hanya bisa merutuki diri sendiri.
Paginya, keadaan Bapak berubah drastis. Sangat segar, cerah dan fullsenyuman. Padahal semalaman suntuk beliau merintih kesakitan. Jangankan untukduduk, berbaring miring saja Bapak tak kuasa. Tapi pagi itu, beliau sudah dudukrapi di atas ranjang sambil menyantap nikmat sarapannya.
“Engky, Wulan sini,” panggilnya lembut kepada aku dan Mba Wulan yang sedang duduk-duduk di atas tikar.
“Sini, Bapak cium.”
Lalu Bapak mencium pipi kami satu persatu. Kamipun diminta menciumbeliau bergantian.
“Bapak sayang banget sama kalian. Semua anak-anak Bapak.”
Lalu beliau memeluk kami.
“Apa Bapak sudah sembuh?” tanyaku.
“Iya, Bapak sepertinya sudah sembuh. Insya Allah mau pulang kalautidak nanti malam, ya besok.”
Aku sumringah luar biasa. Aku sendiri juga sudah tak betah beberapahari tinggal di rumah sakit. Aku ingin kembali ngobrol ngalor-ngidul dengan Bapak, seperti yang beberapa bulan terakhir kami lakukan.
“Nah, sekarang, Engky pulang dulu, yah? Katanya sedang ulangan mid semester, kan?”
Tiba-tiba aku baru menyadari berapa hari aku meninggalkan sekolah. Artinya, bisakah aku ikut tes susulan sebanyak itu?
“Engky pulang sama siapa?” tanyaku bingung.
“Engky kan anak hebat. Pasti berani pulang sendiri. Latihan mandiri. Naik bis Semarang Purwokerto, nanti turun di Ngebrak. Beres, kan?”
“Katanya Bapak mau pulang. Engky pulang sama Bapak saja. Boleh kan?”
“Lho, nanti kalau ternyata Bapak nggak jadi pulang secepat itu gimana? Ulangannya gimana?”
Akhirnya, akupun mengalah. Meski sudah Kelas 1 SMU, saat itu aku belum berpengalaman sama sekali naik bus sendirian. Apalagi untuk  jarak sejauh itu. Dengan mengumpulkan segala keberanian, akupun sukses melalui perjalanan jauh pertama seorang diri.
Di rumah, sudah banyak saudara berkumpul disana. Mba Vita sudah pulangjuga ternyata. Akupun langsung ditanya mengenai keadaan Bapak. Seperti yang aku lihat, aku sampaikan kalau kondisi Bapak sudah sangat baik, sehat dan mausegera pulang. Semua tampak lega dan tak sabar menunggu kepulangan Bapak.
Jam 8 malam aku tidur dengan Mba Vita. Baru terlelap dua jam, kami berdua dibangunkan paksa. Ada paman, bibi, pak de dan bu de. Lengkap.
“Ki, tadi gimana kabar Bapak?”
Aku yang masih sangat ngantuk, rasanya dongkol banget. Apakah mereka tak bisa menunggu untuk bertanya itu besok pagi saja. Tapi, akupun tetap menjawab dengan menceritakan kondisi Bapak yang semakin membaik.
“Jadi, Bapak sudah kelihatan sehat yah?”
“Iya, Bulik,” jawabku malas.
Mereka saling berpandangan. Aneh.
“Ki, baru saja kami dapat telpon dari Semarang. Bapak baru sajadipundhut”
Dipundhut? Maksudnya?
“Bapak baru saja meninggal dunia, Ki”
Tiba-tiba duniaku terasa runtuh. Akupun limbung. Seketika kudengar teriakan mereka memanggil namaku. Pecah tangis. Semakin sayup. Senyap. (*)

Purbalingga, 12 November 2014