Minggu, 10 Januari 2016

Tenun Tajug dan Kesetiaan Mbok Rumi

Dari luar rumah sederhana di Dukuh Sawangan, terdengar suara... dug...dug..dug...Itu suara alat tenun yang sedang digunakan Mbok Rumi. Sosok nenek renta yang sudah kehilangan pendengarannya. Namun, helai-helai benang itu selalu membuatnya merasa bermakna. 

Mbok Rumi senang sibuk menenun
Dia masih asik dengan benang, pengapit, welira, usek, inching, babah dan cacak-nya. Tak menyadari kehadiranku yang sedari tadi memperhatikan dengan takjub kelincahan jari-jemarinya dalam menenun.
“Lho jebul ana dayoh[1]?” teriaknya kaget mendapati aku yang sibuk memotretnya.
Meski terbatas pendengarannya, Mbok Rumi paham kalau kami datang untuk mengabadikan kesetiaannya pada tenun. Mungkin untuk kali kesekian, Mbok Rumi menerima tamu pewarta.
Merasa tidak mengenakan pakaian yang pantas, Mbok Rumi buru-buru memerintahkan kemenakannya, Wartinem, untuk mengambilkan kebayanya. Setelah kebaya melekat di badan, perempuan yang kemungkinan telah berusia lebih dari 100 tahun itu tampak percaya diri melanjutkan aktivitasnya.
Dug...dug....dug.....
Pangapura, inyong budheg[2],” jelasnya tanpa diminta. Akupun tersenyum seraya melambaikan tangan isyarat tidak masalah.
Menurut keterangan Wartinem, uwa[3]-nya itu mengaku sudah menenun sejak masih gadis. Dulu, kata dia, menenun menjadi kebiasaan para gadis dan ibu rumah tangga, sekaligus sebagai sumber penghasilan keluarga.
Dukuh Sawangan terkenal paling banyak terdapat penenun se-antero Desa Tajug Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga. Namun, dari sekitar 10 orang penenun tersisa, yang masih aktif sampai saat ini hanya tiga orang, termasuk Mbok Rumi. Dulu, pada masa keemasan di era 90-an, ada lebih dari 100 penenun di Dukuh Sawangan. Belum lagi kalau dikalkulasi se-Desa Tajug.
“Dulu, tahun 90-an, di Dukuh Sawangan bisa habis benang sampai 2 ton sebulan. Sehari bisa 30 lembar kain. Jualnya nggak cuma di pasar sini, tapi juga ke Sumatra dan Kalimantan. Sekarang, boro-boro. Satu saja susah,” ujar Watinem yang kadang masih menyempatkan menenun meski tak setekun uwa-nya.

Sejarah Tenun Tajug
Tenun karya tangan-tangan perempuan Dukuh Sawangan bukan diperuntukkan sebagai pakaian. Sebab teksturnya yang kasar, tentu kurang nyaman dikenakan. Tenun ini lebih banyak digunakan untuk menggendong, baik menggendong keranjang untuk keperluan para ibu menjual hasil bumi atau jamu ke pasar, maupun untuk menggendong anak-anak.
“Makanya, tenun Dukuh Sawangan lebih dikenal dengan Tenun Gendong,” jelas Wartinem.
Namun, Tenun Tajug memiliki arti penting bagi rakyat pribumi di masa penjajahan Jepang. Menurut salah satu pejuang angkatan ’45 asal Desa Galuh, Pringgodjojo Soedirdjo, pada masa penjajahan Jepang, semua rakyat pribumi sulit sekali memperoleh bahan makanan dan kain untuk sandang. Yang memiliki saat itu hanya orang Jepang dan para pedagang Tionghoa.
“Distribusi barang-barang sangat sulit. Tidak hanya makanan, tapi juga kain. Makanya kain oleh orang Tionghoa tidak dijual, tapi dipakai sendiri. Kalau ada yang beli, sudah pasti sangat mahal,” jelansya.
Tak heran, pribumi yang bisa memakai kain hanya mereka yang berasal dari kalangan priyayi, termasuk lurah dan pegawai pemerintahan lainnya. Rakyat biasa harus puas dengan pakaian dan lancing[4] yang berasal dari karung goni atau sarung karet.
“Kalau dipakai, aduh gatal luar biasa. Makanya banyak orang pribumi jaman itu yang gudigen[5],” imbuh lelaki yang bernama lahir Ngirman.
Tapi, kesusahan rakyat pribumi ini terobati dengan hadirnya kain hasil tenunan warga Desa Tajug. Memang, kainnya tak sehalus kain yang dijual pedagang Tionghoa, tapi dijamin lebih nyaman dibanding karung goni atau karet.
“Benangnya diambil dari Desa Tumanggal di Pengadegan. Tumanggal saat itu pusat pemintalan benang,” ujarnya. Namun Pringgo tak dapat menjelaskan asal-usul kapas yang dipintal menjadi benang.
Kain Tenun Tajug ini benar-benar menjadi penyelamat kehidupan rakyat saat itu. Kain itu digunakan sebagai pakaian, lancing, dan kain gendong. Mereka tak perlu lagi merasa gatal dan berpenyakit kulit. Mereka juga tidak kepanasan saat terik mentari seperti saat menggunakan pakaian dari bahan karet.

Kesetiaan Mbok Rumi
Tingginya permintaan kain tenun saat itu, membuat para gadis dan ibu rumah tangga di Desa Tajug hampir semuanya berprofesi sebagai penenun. Termasuk diantaranya, Mbok Rumi. Sampai di usia senjapun, Mbok Rumi masih tekun menenun.
“Uwa itu mulai dari bangun pas shubuh itu sampai mau tidur lagi, kerjanya cuma nenun. Paling istirahatnya kalau makan, buang air kecil dan besar serta mandi. Pernah saya larang karena kasihan, takut dia sakit, tapi dia malah menangis. Karena tak tega, ya kami biarkan,” ungkap Wartinem.
Ya, menenun seperti detak kehidupan bagi Mbok Rumi. Penglihatan dan pendengarannya yang semakin menurun tak menyurutkan semangatnya untuk tetap menggerak-gerakkan gedhog[6]. Dengan seksama dilihatnya dekat-dekat setiap benang yang akan ditenun, sampai-sampai tubuhnya membungkuk dan sulit ditegakkan.
“Memasukkan benang itu harus dengan hitungan biar rapi dan bagus. Ya hitung-hitungannya uwa bagus juga untuk seusia ini. Saya saja tidak telaten,” katanya.
Wartinem mengaku kadang masih menenun. Anak perempuannya juga begitu. Tapi sebagian besar gadis dan ibu rumah tangga di Dukuh Sawangan dan merata di seluruh Tajug, lebih tertarik ngidep[7]. Sebab, penghasilan ngidep jauh lebih menjanjikan daripada menenun.
“Satu hari belum tentu satu kain dibuat. Padahal satu kain sekarang dibeli pedagang tidak sampai 20 ribu. Soalnya bahan-bahan semua dari sana. Yang beli ya cuma mereka,” imbuhnya.
Penghasilan yang sangat minim tak sebanding dengan keruwetan dalam menenun tentu menjadi profesi yang sama sekali tak menarik bagi perempuan masa sekarang. Maka, pada saatnya nanti, Mbok Rumi dan para penenun tua lainnya berpulang ke Rahmatullah, mungkin kita akan kehilangan tenun gendong khas Tajug untuk selama-lamanya. Ah, miris sekali.... (Estining Pamungkas)




[1] Lho ternyata ada tamu?
[2] Mohon maaf ya, saya tuli
[3] Kakak dari ibu atau bapak
[4] Celana untuk laki-laki yang cara pakainya mirip popok bayi
[5] Penyakit kulit
[6] Kayu yang digerak-gerakkan pada alat tenun saat menenun
[7] Membuat kerajinan bulu mata. Bulu mata merupakan produk utama Kabupaten Purbalingga yang sebagian besar pabriknya milik orang Korea Selatan. Purbalingga merupakan penghasil bulu mata terbesar kedua setelah Guangzhou-China.
(Feature ini ditulis untuk mengisi Rubrik "Sisi Lain" Majalah Pemkab Purbalingga "Derap Perwira" Edisi 96 Tahun 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar