Ketika ditanya apa amal sholeh yang paling sulit dilakukan, jawabannya
beragam. Ada yang bilang Qiyamul Lail alias sholat malam, karena bangun di
malam hari kalau tidak terbiasa memang berat. Ada yang menjawab naik haji
karena harus memiliki dana yang memadai, belum lagi antri keberangkatannya yang
hitungan tahun. Ada juga yang bilang poligami, karena nggak gampang adil sama
beberapa istri sekaligus.
Kalau saya sendiri merasa, amal yang paling sulit adalah ikhlas.
Gampang diucapkan tapi subhanallah, sulit sekali untuk diterapkan. Ketika kita
menulis status tentang kebaikan di media sosial, kadang merasa senang kalau
banyak yang like, komen dan share. Tapi merasa sedih atau marah kalau nggak ada
satupun yang merespon.
Atau saat kita cape-cape bekerja, ternyata atasan justru memberikan
apresiasinya kepada teman kita yang sedikitpun tidak berkontribusi apapun. Atau
saat kita sudah mempersiapkan makan malam special, ternyata suami pulang dan
mengaku sudah makan ditraktir temannya. Dan banyak contoh lainnya.
Selama ini pemahaman orang tentang Ikhlas adalah tanpa pamrih dan
dengan senang hati. Jadi tidak mengharapkan imbalan apapun dari siapapun. Kalau
menurut pendapat saya, ikhlas adalah saat kita melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu hanya karena Allah, Sang Khalik, bukan makhlukNya.
Jadi, kalau anak diperintah ibunya membeli sesuatu di warung sebelah,
si anak dengan berat hati tetap berangkat ke warung dengan berniat melakukan
semua itu untuk meraih ridho Allah, anak itu tetap disebut ikhlas. Meskipun
berat hati. Seorang istri yang sedang kelelahan, lalu malam-malam ‘dicolek’
suaminya, lalu dengan segera dia melayaninya hanya karena Allah, dia ikhlas,
meskipun berat hati.
Tapi kalau seseorang yang berniat menyumbang infaq untuk masjid secara
diam-diam, lalu tiba-tiba ada orang melintas dan dia membatalkan infaq karena
takut dipuji atau merusak keikhlasan, itu justru tidak ikhlas. Atau saat
seorang Da’I atau motivator selesai memberikan presentasinya, saat turun
panggung dia bertanya pada asistennya, “Gimana tadi penampilanku?”, itu sudah
tidak ikhlas. Mengapa? Karena dia melakukan sesuatu atau tidak melakuakn
sesuatu karena makhluk bukan karena Khalik, atau Allah.
Jadi prinsipnya, ikhlas itu hanya mengharap ridho Allah. Kalau kita
tidak jadi infak karena takut ketahuan orang lain, berarti kita tidak melakukan
sesuatu karena orang lain, bukan karena Allah. kalau kita mematuhi perintah
orang tua membeli sesuatu di warung sebelah karena niat karena Allah semata,
itu sudah ikhlas, terlepas berat hati atau tidak.
Jadi sebaiknya, kalau niat kita infaq diam-diam, terus ada yang
melihat kita berinfaq, ya sudah teruskan saja infaqnya. Niatkan tetap karena
Allah Ta’ala. Infaq diam-diam memang utama, tapi jangan sampai keutamaan itu
justru dirusak dengan ketidakikhlasan.
Ikhlas itu bukan soal suka tidak suka, sepenuh hati atau setengah
hati, berat hati atau senang hati. Pokoknya kalau niatnya karena Allah, sudah
ikhlas. Tapi alangkah baiknya jika kita mengubah paradigm berpikir kita yang
tadinya berat hati, lalu kita berpikir positif dan dibuat senang, insya Allah
akan dengan senang hati. Masalah senang tidak senang melakukan atau tidak
melakukan sesuatu sebenarnya ada di pikiran kita. Semacam sugesti.
Cobalah tersenyum saat kita merasa berat hati. Maka orang lainpun akan
tersenyum, dan kita akan lebih ringan melakukan sesuatu. Sebaliknya kalau kita
berat hati dan hawa nafsu marah diikuti, wajah dibuat cemberut, maka kitapun
akan merasa jauh lebih berat lagi melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Tahapan Ikhlas
Belajar ikhlas itu memang ada tahapannya. Kalau Yusuf Mansyur
mengatakan kalau semakin banyak kita bersedekah maka kita akan semakin
terlimpah rezeki. Jadi kalau sholat dhuha dan sedekah karena ingin dimudahkan
rezeki, pada tahap awal memang tidak mengapa. Minimal untuk memotivasi beramal
sholih. Pada tahap ini biasanya kita menganggap amal-amal sholih seperti
sedekah, sholat dhuha, Qiyamul Lail sebagai belenggu, beraaaat sekali.
Nah idealnya, kadar keimanan kita harusnya terus meningkat. Kalau udah
terbiasa sholat dhuha dan sedekah, maka ubah niat kita adalah surgaNya. Kalau
menurut Emha Ainun Nadjib, sebenarnya ini juga belum ikhlas betul. Karena surga
adalah makhluk Allah. Jadi kalau niat kita surge, berarti kita berharap makhluk
Allah. Tapi sebagai bagian tahapan latihan, saya rasa masih lebih mending
daripada mengharap pujian atau pemberian sesuatu dari orang lain. Pada tahap
ini kita biasanya sudha terbiasa dan istiqomah menjalankan amal-amal sholih.
Nah jika kita sudah tak berharap dunia, dan mulai berharap surga, coba
tingkatkan lagi niat ikhlas betul-betul untuk meraih ridho Allah, betul-betul
karena Allah. Yakinlah Allah Maha Adil, Maha Mengetahui upaya yang kita lakukan
dan paling tahu apa yang terbaik untuk kita. Insya Allah, ketentraman hati,
kebahagian dunia akhirat menjadi milik kita. Pada Tahapan ini, orang sudah
mulai ‘kecanduan’ dan butuh sekali amal-amal sholih itu. Seolah-olah dia tidak
bisa hidup tanpa melakukan amal-amal sholih itu.
Aduh, mudah ngomongnya, tapi sulit melakukannya. Ya memang, karenanya
saya sebut Ikhlas sebagai amalan tersulit. Tapi, sulit tidaknya sesuatu juga
kembali pada kita. Yuk bareng-bareng kita hadapi kesulitan itu. Mudah-mudahan
kita layak untuk mendapatkan ridhoNya. Aamiin.
hohohoho.. iyo.. butuh waktu.. :D
BalasHapusdan kesungguhan ya mbak.... ^_^ salam kenal
Hapus