Selasa, 12 Januari 2016

Bapak


Kupikir dia tak menyayangiku. Hanya karena dia tak selalu ada di saat kurindu. Aku bersyukur karena aku salah sangka. Love You Dad.


Aku dan Bapak
Seperti malam-malam sebelumnya, aku harus memijat punggungnya hingga tertidur. Tapi anehnya, aku tak pernah bosan dan berat hati melakukannya. Karena di saat-saat itulah aku bisa berada dekat dengannya. Bapakku.
“Hayo ngantuk, ya?” ujarnya seraya mencubit hidungku. Ups, ketahuan deh ngantuk. Seharusnya Bapak dulu yang tertidur karena pijatanku. Ternyata, sebaliknya. Hihihi…
“Ya sudah. Kamu dah cape yah? Istirahat dulu,” tuturnya lembut.
Dengan suka cita, akupun berbaring di sisinya. Hal yang sulit sekali terjadi sebelum beliau sakit. Yah, Bapak sudah berbulan-bulan tidak lagi bekerja karena penyakit diabetesnya yang semakin akut.
Dulu, saat beliau masih segar bugar, hampir seluruh waktunya dia curahkan untuk bekerja. Aku hanya melihatnya saat makan pagi, dan malam saat aku beranjak tidur.
Sejujurnya, sebelum malam itu, aku hampir tak mengenal Bapakku seutuhnya. Aku hanya tahu kalau dia adalah laki-laki yang membuatku ada, melalui rahim ibuku. Kedisiplinannya, kerapihannya, dan tata krama yang diajarkannya dengan sedikit keras, membuatku takut dan segan.
Aku, dan semua kakakku, biasanya lebih dekat dengan ibu. Peraturan ibu yang agak longgar, tak sungkan memeluk, mencium dan memuji, membuat kami nyaman.
Menjadi sebuah hal yang lumrah, jika saat kami bermanja dengan ibu didepan tv, dengan posisi tiduran sekadarnya, tiba-tiba terdengar suara mobil Bapak masuk garasi, otomatis kamipun merapikan duduk. Jika ada sampah tercecer, kami harus segera membereskan. Yang tak rapi harus dirapikan. Tegang? Ya, sedikit.
Kalau kami nakal, dan sulit diarahkan, biasanya ibu atau Mba Wulan, kakak pertamaku, akan menakut-nakuti kami dengan melaporkan kenakalan kami pada Bapak. Kalau sudah begitu, kami pasti akan menghentikan kenakalan kami. Seperti hp yang di-silent. Langsung kalem.
“Kamu ngalamun, Ki?”
Suara Bapak membuyarkan lamunanku. Sambil tersenyum, akupun memanfaatkan momen ini untuk mengklarifikasikan semuanya.
“Bapak, Engky boleh tanya?”
“Ya, tanya saja,” jawabnya lembut.
“Kenapa selama ini Bapak lebih suka kerja daripada kami?”
Bapak memandangku lekat. Pandangannya kemudian berpindah ke langit-langit kamar. Menerawang.
“Dulu, Bapak mengira, cara seorang Bapak menyayangi anaknya itu ya dengan memenuhi segala kebutuhan anak-anaknya. Bapak pikir, cukuplah ibu yang mewakili kebersamaan dengan kalian. Makanya Bapak bekerja segiat mungkin, agar Bapak  bisa membelikan apapun yang kalian butuhkan,” jelasnya pelan.
Terdengar desah nafas panjangnya.
“Ternyata Bapak salah. Maafkan Bapak, yah?”
Aku memandangnya trenyuh. Tanpa mampu berkata apapun, aku memeluknya. Diapun balas memelukku.
“Engky yang minta maaf. Karena selama ini Engky salah sangka sama Bapak,”ungkapku tersedu.
Malam itupun, kami bercerita ngalor-ngidul. Seru sekali. Mulai dari masalah perpolitikan. Kata Bapak, seharusnya Pak Harto mundur segera dari presiden. Istilah tata negara jawa, itu Noto Nagoro. Bukan Nototototo nanti bakal ada goro-goro. Maksudnya, setelah Sukarno, seharusnya Pak Harto cukup satu periode saja menjabat lalu digantikan dengan yang lainnya. Kalau Pak Harto terus memaksakan diri berkuasa, nanti akan ada goro-goro, atau kekacauan.
"Ih bapak, kalau Pak Harto bukan presiden, lalu siapa presidennya? Apa ada?" tanyaku khawatir. Maklum, saat itu rasanya hampir tidak mungkin ada kesempatan bagi orang lain untuk duduk menjabat sebagai presiden selain Pak Harto. Dan bagi seorang PNS seperti Bapak, sangat riskan membahas masalah seperti ini.
"Masa dari ratusan juta jiwa penduduk Indonesia nggak ada yang bisa jadi presiden selain Pak Harto? Haha, kamu ada-ada aja," katanya ringan. Akupun hanya mengangguk-angguk ragu. Tak kusangka sama sekali setahun kemudian, goro-goro itu nyata terjadi.
Lalu kami mulai cerita yang ringan-ringan. tentang masa lalu Bapak. Bapak bahkan tanpa sungkan bercerita tentang masa kecilnya yang sering dilarang eyang kalau mau memanjat pohon. Atau perempuan istimewa keturunan Kraton Solo yang meminta dinikahi saat Bapak kuliah di UNDIP. Hingga kisah mendebarkan saat akan melamar ibu, sang kembang desa.
“Bapak melamar ibu dengan proposal lengkap dengan biodata? Dikasihkan ke Mbah Kakung? Seperti melamar pekerjaan ya, Pak…haha.”
Kami ngobrol dan tertawa bersama hingga pagi. Ya, saat itu ibu sedang bertugas sebagai Tenaga Kesehatan pada musim haji di Mekkah. Mbak Vita dan Mas Tommy masih tinggal di luar kota untuk kuliah. Mbak Wulan yang baru diwisuda sarjana, sudah terlebih dulu tidur karena kecapean. Maklum saat itu, Mbak Wulan yang suka kerapian (satu-satunya yang menuruni Bapak, hehe) menggantikan tugas-tugas ibu. Apalagi saat itu, kami juga belum dapat pembantu, karena kamitinggal di rumah kami yang baru selesai rehab di Majasari.
Beberapa bulan kemudian, kondisi Bapak semakin menurun. Setelah tak satupun rumah sakit di eks Karesidenan Banyumas mampu menanganinya, pada akhirnya Bapak dirujuk ke RS Elisabeth Semarang. Akupun sendirian di rumah, karena Mbak Wulan dan Ibu harus menjaga Bapak. Sedang aku masih harus sekolah. Memang sesekali ada saudara yang menemani. Tapi hatiku terasa sangat sepi.
Aku tak tahu apa yang terjadi pada Bapak disana. Semua orang tampak sibuk sampai-sampai tak ada yang memperdulikanku. Aku rindu Bapak, sekaligus khawatir. Aku ingin ke Semarang tapi tak tahu harus bagaimana caranya.
“Engky udah ke Semarang, belum?” tanya teman ibu suatu hari. Teman kerja ibu ini mau berangkat ke Semarang dengan rombongan Puskesmas Purbalingga. Sebelum ke Semarang, kebetulan mereka mampir dulu ke rumah Majasari.
Akupun hanya menggeleng lemah dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya semuaorang baru menyadari, kalau aku sebenarnya ingin melihat kondisi Bapak. Dengan menumpangmobil Puskesmas Keliling, akupun ikut ke Semarang.
Di salah satu ruang di bangsal Xaverius, disana Bapakku dirawat. Saat kusaksikan pertama kali, aku langsung syok dan berlinangan air mata. Bapaksangat – sangat kurus. Kulitnya kusam menghitam. Begitu banyak selang menancapdi tubuhnya. Ya Allah, pasti Bapak sedang sangat menderita.
Tak kuasa, akupun berlari ke sudut koridor. Aku menangis sepuasnya.Belum lama kebersamaan kami terjalin, belum lama aku bisa tertawa lepasdengannya, apakah kini Kau akan menjemputnya, ya Allah?
Akupun ikut menjaga Bapak di rumah sakit, tanpa terpikir tentang ulangan mid semester yang sedang berlangsung. Tiap malam aku harus menahan kegetirandemi mendengar rintihan lara Bapak.      .
Saat Ibu dan Mba Wulan terus terjaga dan sibuk membimbing doa Bapak, aku pura-pura tertidur. Padahal aku sama sekali tak bisa tidur. Air mataku terus berlinangan membayangkan betapa sakit yangdiderita Bapak. Tak tahu apa yang mesti aku lakukan. Bodohnya aku! Amat sangatbodoh! Aku hanya bisa merutuki diri sendiri.
Paginya, keadaan Bapak berubah drastis. Sangat segar, cerah dan fullsenyuman. Padahal semalaman suntuk beliau merintih kesakitan. Jangankan untukduduk, berbaring miring saja Bapak tak kuasa. Tapi pagi itu, beliau sudah dudukrapi di atas ranjang sambil menyantap nikmat sarapannya.
“Engky, Wulan sini,” panggilnya lembut kepada aku dan Mba Wulan yang sedang duduk-duduk di atas tikar.
“Sini, Bapak cium.”
Lalu Bapak mencium pipi kami satu persatu. Kamipun diminta menciumbeliau bergantian.
“Bapak sayang banget sama kalian. Semua anak-anak Bapak.”
Lalu beliau memeluk kami.
“Apa Bapak sudah sembuh?” tanyaku.
“Iya, Bapak sepertinya sudah sembuh. Insya Allah mau pulang kalautidak nanti malam, ya besok.”
Aku sumringah luar biasa. Aku sendiri juga sudah tak betah beberapahari tinggal di rumah sakit. Aku ingin kembali ngobrol ngalor-ngidul dengan Bapak, seperti yang beberapa bulan terakhir kami lakukan.
“Nah, sekarang, Engky pulang dulu, yah? Katanya sedang ulangan mid semester, kan?”
Tiba-tiba aku baru menyadari berapa hari aku meninggalkan sekolah. Artinya, bisakah aku ikut tes susulan sebanyak itu?
“Engky pulang sama siapa?” tanyaku bingung.
“Engky kan anak hebat. Pasti berani pulang sendiri. Latihan mandiri. Naik bis Semarang Purwokerto, nanti turun di Ngebrak. Beres, kan?”
“Katanya Bapak mau pulang. Engky pulang sama Bapak saja. Boleh kan?”
“Lho, nanti kalau ternyata Bapak nggak jadi pulang secepat itu gimana? Ulangannya gimana?”
Akhirnya, akupun mengalah. Meski sudah Kelas 1 SMU, saat itu aku belum berpengalaman sama sekali naik bus sendirian. Apalagi untuk  jarak sejauh itu. Dengan mengumpulkan segala keberanian, akupun sukses melalui perjalanan jauh pertama seorang diri.
Di rumah, sudah banyak saudara berkumpul disana. Mba Vita sudah pulangjuga ternyata. Akupun langsung ditanya mengenai keadaan Bapak. Seperti yang aku lihat, aku sampaikan kalau kondisi Bapak sudah sangat baik, sehat dan mausegera pulang. Semua tampak lega dan tak sabar menunggu kepulangan Bapak.
Jam 8 malam aku tidur dengan Mba Vita. Baru terlelap dua jam, kami berdua dibangunkan paksa. Ada paman, bibi, pak de dan bu de. Lengkap.
“Ki, tadi gimana kabar Bapak?”
Aku yang masih sangat ngantuk, rasanya dongkol banget. Apakah mereka tak bisa menunggu untuk bertanya itu besok pagi saja. Tapi, akupun tetap menjawab dengan menceritakan kondisi Bapak yang semakin membaik.
“Jadi, Bapak sudah kelihatan sehat yah?”
“Iya, Bulik,” jawabku malas.
Mereka saling berpandangan. Aneh.
“Ki, baru saja kami dapat telpon dari Semarang. Bapak baru sajadipundhut”
Dipundhut? Maksudnya?
“Bapak baru saja meninggal dunia, Ki”
Tiba-tiba duniaku terasa runtuh. Akupun limbung. Seketika kudengar teriakan mereka memanggil namaku. Pecah tangis. Semakin sayup. Senyap. (*)

Purbalingga, 12 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar