Oleh:
Estining Pamungkas
Senja datang. Sinar surya terburu-buru rebah
di pangkuan mega. Ranting-ranting tua bergetar dan berjatuhan dihembus bayu
yang lelah. Selelah rautmu yang seharian penuh duduk terpekur menekuni
helai-helai rambut untuk dijadikan bulu mata palsu.
Kau susuri jalan padat dengan sepeda motor hasil kreditan. Ya,
sejak diangkat menjadi buruh tetap di pabrik bulu mata palsu terbesar di Bumi
Perwira itu, tanpa pikir panjang, kau mengambil kredit sepeda motor. Tapi bukan
itu satu-satunya alasan mengapa kau rela bekerja di bawah tekanan mandor-mandor
yang kemarahannya membuatmu enggan untuk sekedar menghela nafas.
Terbayang polos wajah anakmu di pelupuk. Tak terasa titik-titik
air meleleh di pipimu. Tubuh kecil itu sangat rapuh. Di usianya yang empat tahun,
untuk dudukpun tak mampu. Apalagi berdiri, berjalan dan berlarian seperti anak
seusianya.
Bu Bidan mengatakan kemungkinan anakmu menyandang cerebral palsy. Semacam kelumpuhan karena
kerusakan otak yang tak mungkin sembuh. Diagnosa seharusnya ditegakkan oleh
dokter ahli. Tapi, apa daya, dokter itu adanya di kota besar.
“Tapi bisa diajarkan mandiri. Yang penting harus diterapi di rumah
sakit. Harus tiap hari,” ujar Bu Bidan bertubuh tambun namun sangat ramah dan
perhatian itu.
Lidahmu kelu. Hanya dengan bekerja di pabrik kau bisa mengikuti
BPJS tanpa harus terpikir untuk membayarkannya sendiri seperti membayar
listrik. Artinya tak masalah untuk biaya terapi di rumah sakit pemerintah.
Namun ternyata itu tidak cukup. Perjalanan dari rumahmu menuju ke
rumah sakit terlalu jauh. Untuk bisa bolak-balik setiap hari, berapa biaya
untuk membayar ojek, mikrobus dan angkot? Kredit motor memang satu-satunya
pilihan.
Kau berharap lelaki itu, yang kau sebut suami, mau mengantar
anakmu terapi. Daripada hanya bermalasan dengan game di smartphone yang
diperolehnya entah dari siapa. Atau main
gitar dan nongkrong di pinggir jalan.
“Bebeh temen ngurusi bocah
cacat![1]”
ujar lelaki itu setengah memaki. Sepeda motor yang kau beli dengan menebas
gajimu yang tak seberapa itu, ternyata hanya dipakai untuk kelayaban[2]
oleh suamimu. Bahkan, kau dengar suamimu itu telah memiliki pacar anak
SMA.
Kau bergetar murka mengingatnya. Itu sebabnya, kau ambil alih
sepeda motor itu untuk bekerja. Dan terapi untuk anakmu itu, baru sekadar
rencana yang entah kapan dilakukan.
Terpaksa, selama bekerja kau titipkan anakmu ke rumah uwamu. Uwa
yang selama ini mengurus dan membesarkanmu setelah kedua orang tuamu meninggal
tertimpa longsor saat kau masih balita. Kau sungguh tak tega membebani saudara
tua mediang ibumu itu untuk mengantar anakmu terapi. Tiap hari pula.
Senja berganti malam, saat sepeda motor itu kau parkir di halaman
rumah. Gubug warisan orang tuamu yang sudah kau renovasi sedikit-sedikit, agar
layak disebut rumah.
Begitu pintu kau buka, aroma busuk tercium. Bergegas kau masuk ke
kamar. Ada anakmu yang tidur menggeliat-geliat tak nyaman. Kau geram. Kotoran
anakmu telah mengering.
“Lho, Nur…Jebul ko wis bali?[3]
Bikinin aku kopi dan masakin air buat mandi,” perintah lelaki itu setelah muncul
tiba-tiba tanpa rasa bersalah.
Kau berang. Merasa lelaki itu tidak tahu diuntung.
“Uwa sakit, jadi tadi Rangga diantar balik gasik,” tambahnya enteng, seraya merebahkan badan di depan tv. Tangannya lalu sibuk memencet-mencet tombol remote control mencari acara tv yang
membuatnya riang.
“Trus kenapa kakange[4]
tidak membersihkan Rangga? Ini kotoran sampe kering! Matanya juga sembab. Kakange biarkan dia menangis saat BAB
sampai dia tertidur?!” teriakmu.
Lelaki itu berdiri. Membanting remote
tv di tangan. Wajahnya memerah seperti sapi jantan bertanduk yang siap
mengamuk.
“Aku bosan dengan hidup ini. Bosan punya anak cacat! Bosan sama kamu!
Bosan sama semuanya!” umpatnya sambil menuding-nuding persis di depan mukamu.
Ditendangnya kursi anyaman bambu yang baru digunakannya untuk
duduk.
“Aku juga bosan sama kakange! Uwis ora pakhal[5],
maunya dilayani. Nggak bisa diajak brayan[6]!
Dasar pemalas!”
Plakk!!
Tamparan keras mendarat di pipimu. Kau tersungkur, memegangi perih
pipimu. Pipi yang dulu pernah diusap-usap lembut lelaki itu. Lelaki yang
membuatmu hamil sebelum ijab qobul direncanakan. Yang membuatmu memohon – mohon
pertanggung jawabannya.
Lelaki itu sempat lenyap. Membuatmu cemas dan kalap. Dukun
beranakpun kau paksa untuk menggugurkan janin. Tanpa ampun perut besarmu
dipijat-pijat dan dipukul. Aneka ramuan aneh terpaksa kau minum. Meski membuatmu
menjerit-jerit karena tak kuasa menahan rasa mulas yang mengerikan.
Tapi janinmu sangat ingin hidup. Tuhan masih memberinya kesempatan
menghirup udara dunia. Dia semakin kuat dan membesar di perutmu. Lambat laun,
lelaki itupun muncul. Dia bersedia menikahimu. Dan Ranggapun terlahir ke dunia
dengan fisik tak berdaya.
“Ya sudah! Kalau gitu, aku minta cerai saja! Aku sudah tidak tahan
hidup seperti ini. Aku bisa hidup lebih tenang tanpa kakange!”
Lelaki itu meludah. Membanting pintu lalu pergi meninggalkan
rumah. Rangga terbangun karena kaget, dan merengek. Derai air mata tak mampu kaubendung.
Kaupun beranjak membersihkan kotoran Rangga. Semalaman itu, kau tak sanggup
berhenti tersedu hingga kepalamu terasa berat dan ngilu. Meratapi nasib yang
tak kunjung membaik.
***
Ragu kakimu melangkah menuju Balai Desa. Siang yang senyap.
Melalui pintu yang terbuka, kau melihat Pak Modin[7]
seorang diri sedang sibuk di depan layar komputer.
“Kulanuwun, Pak,” sapamu sopan.
Lelaki separuh baya itu melemparkan pandangan padamu.
“Ko ora kerja, Nur?[8]”
“Ijin, Pak. Bade kepanggih
bapake[9]”
Pak Modin melepas kacamata bacanya. Diapun berdiri dan
mempersilahkanmu duduk di kursi tamu.
“Pangapurane, perangkat liyane karo Pak Kades lagi muyi[10].”
“Bayinipun sinten, Pak[11]”
“Bayine Si Las, anake Mbok Darkum[12],”
“Ooo….”
Pak Modin menatapmu penuh tanya. Kaupun terlihat kikuk.
“Ana apa, ngasi ora mangkat
kerja kur arep mengeneh?[13]
Kamu nggak takut dimarahi mandormu?”
Kau menggeleng pelan. Tertunduk bingung.
“Nuwun sewu, Pak Modin, saya mau menggugat cerai suami saya, Pak,”
ujarmu lirih.
Tanpa disangka, Pak Modin malah tersenyum.
“Wis tek kira, mesti ko ora
bakal kuwat. Bojomu kuwe ora pantes dipertahankan,[14]”
tegasnya.
Rupanya ketidakharmonisan rumah tanggamu sudah lama tercium oleh
banyak orang. Termasuk para perangkat desa. Mungkin mereka iba dengan
kondisimu.
Pak Modin dengan senang hati membantumu. Mengurus surat-surat ke
Pengadilan Agama. Hingga akhirnya lelaki itu, yang tengah kau gugat cerai,
kembali ke rumahmu, suatu malam.
“Mau apa lagi?!” jawabmu ketus.
“Kau serius mau minta cerai?”
“Tentu saja! Biar kau bebas. Aku juga bebas”
“Nur…..”
Lelaki itu mengeluarkan sejumlah uang. Ya, beberapa lembar uang
berwarna merah bergambar duo proklamator. Diserahkannya uang itu padamu.
“Apa ini? Kakange habis nggarong?![15]”
“Hussstt….jangan berpikiran jelek terus. Ini uang hasil penjualan
batu untuk bikin akik. Sekarang bermodal ngarah[16]
batu di Kali Klawing, aku bisa punya uang. Kiye
nggo ko karo Rangga[17].
Terimalah…”
Kau tertegun. Bergantian memandangi lembaran uang itu dan lelaki
yang masih menjadi suamimu. Tak percaya. Tapi, aroma kesungguhan menyeruak di
wajah lelaki yang pernah membuatmu tergila-gila.
Tiba-tiba air mukanya berubah sendu. Cairan bening tergenang di
pelupuknya. Diapun berlutut, terisak-isak, memohon maaf padamu. Dia merasa tak
berguna dan buntu.
“Aku bukannya tidak ingin kerja, Nur. Tapi tak ada yang mau
mempekerjakan aku. Aku sudah berusaha.”
Tubuhnya terguncang. Air matanya tumpah di daster kumal yang
membalutmu.
“Untung saja sekarang sedang booming
akik. Hanya dengan mencari batu, aku bisa dapat uang. Beri aku kesempatan, Nur!
Beri aku kesempatan menebus kesalahanku, padamu dan pada Rangga! Beri aku kesempatan
menjadi suami dan ayah lagi!” pintanya memohon.
Lelaki itu terus meraung. Memeluk lututmu erat. Hatimupun luluh.
Luluh karena masih ada sisa cinta yang telah lama tidak tersemai.
Sidang perceraian dibatalkan. Kau terlihat semakin rukun dan mesra
dengan suamimu. Rangga mulai mengikuti terapi di rumah sakit. Kini tangan
lemahnya sudah mampu melambaikan tangan ‘dadah’ saat kau berpamitan untuk
bekerja.
Suamimu benar-benar membuktikan diri menjadi suami yang baik. Dia
mengambil alih pembelian beras, listrik dan bahkan membeli kursi roda untuk
Rangga. Dia juga mau mengurus Rangga, dan sudah jarang berkumpul lagi dengan
teman-teman penganggurannya.
Kau sungguh ingin berterima kasih dan memberikan hadiah untuk
suamimu. Sebuah gerinda listrik untuk mengasah batu menjadi akik. Suamimu
bilang, sekali mengasah, bisa dapat ongkos Rp 15ribu sampai Rp 25 ribu. Kalau
sehari empat sampai lima kali mengasah, seratusan ribu masuk kantong.
“Tiga juta satu bulan, Nur. Tiga juta untukmu sayang, juga untuk
Rangga,” ujar suamimu berangan-angan seraya memelukmu malam itu. Pergumulan
romantis dihelat. Kau merasa sangat bahagia. Perasaan yang sempat menguap entah
kemana.
Suatu sore, sepulang kerja, kau bergegas pulang. Gerinda listrik
sebagai kejutan sudah disiapkan. Kau membelinya dari suami temanmu yang kini
menjadi perajin mesin Gerinda akik. Lima kali pembayaran setiap kali gajian.
Terbayang semburat bahagia terpancar di raut suamimu. Sudah lama
kau tak pernah merasa begitu bergairah. Kau tak tahan untuk segera merasakan
hangat peluknya.
“Ooowhh…kakange..kakange…,”
gumammu sambil tertawa sendiri. Persis gadis remaja yang tengah gila karena kasmaran.
Memasuki halaman rumahmu menjelang gelap. Ada yang tak biasa. Disana
berkumpul banyak orang. Termasuk orang-orang asing berseragam. Perasaanmu
menjadi tidak enak.
Suara rengekan Rangga terdengar dari dalam. Begitu kau muncul di
balik pintu, semua orang memandangmu trenyuh.
Kau terkesiap. Lelaki yang kembali kau cintai, yang akan kau beri
kejutan, terlebih dulu memberimu kejutan. Kejutan yang tidak pernah kauharapkan.
Terbujur kaku dengan tubuh basah, menggelembung dan luka disana-sini. Busa-busa
halus masih mengalir dari hidung dan mulutnya.
“Bojomu keli nang Kali
Klawing mau awan pas ngarah watu. Nembe ketemu miki sore nang brug dusun wetan.
Sing sabar ya, Nuur….,[18]”
bisik Uwa memelukmu seraya terguguk, pilu.
Kau bahkan tak mampu terpekik. Tak berapa lama, tubuhmu limbung,
dan roboh. Para pelayat jejeritan menolongmu. Kau rasakan dunia teramat gelap. Gerinda
listrik di tanganpun jatuh berantakan. Serupa dengan mimpimu yang hancur
berantakan, tersapu angin malam. Hilang bersama perginya sang pujaan. (*)
[1]
Ah, malas amat ngurusi anak cacat!
[2]
Keluyuran
[3]
Lho Nur, ternyata kamu sudah pulang?
[4]
Abang
[5]
Udah nggak kerja
[6]
Brayan = kerjasama
[7]
Modin = Kepala Urusan Kesejahteraan di Pemerintahan Desa
[8]
Kamu nggak kerja, Nur?
[9]
Mau bertemu dengan Bapak
[10]
Mohon maaf, perangkat lainnya dan pak Kades sedang menengok bayi
[11]
Bayinya siapa, Pak?
[12]
Bayinya Si Las, anaknya Mbok Darkum
[13]
Ada apa tidak berangkat kerja hanya untuk kesini? Kamu tidak takut dimarahi
mandormu?
[14]
Sudah aku duga. Kamu pasti tak akan kuat. Suamimu itu tidak pantas
dipertahankan.
[15]
Abang habis merampok?
[16]
Ngarah = mencari
[17]
Ini untuk kamu dan Rangga
[18]
Suamimu hanyut di Sungai Klawing tadi siang saat mencari batu. Baru ketemu tadi
sore di jembatan dusun timur. Yang sabar ya Nur.
(Cerpen ini dimuat di Majalah Pemkab Purbalingga Edisi 99 Tahun 2015, terinspirasi dengan boomingnya fenomena batu akik yang melanda Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah saat itu)
Suka banget sama kisah ini.... :)
BalasHapus