Rabu, 13 Januari 2016

Gerinda Akik



Oleh: Estining Pamungkas

Senja datang. Sinar surya terburu-buru rebah di pangkuan mega. Ranting-ranting tua bergetar dan berjatuhan dihembus bayu yang lelah. Selelah rautmu yang seharian penuh duduk terpekur menekuni helai-helai rambut untuk dijadikan bulu mata palsu.
Kau susuri jalan padat dengan sepeda motor hasil kreditan. Ya, sejak diangkat menjadi buruh tetap di pabrik bulu mata palsu terbesar di Bumi Perwira itu, tanpa pikir panjang, kau mengambil kredit sepeda motor. Tapi bukan itu satu-satunya alasan mengapa kau rela bekerja di bawah tekanan mandor-mandor yang kemarahannya membuatmu enggan untuk sekedar menghela nafas.
Terbayang polos wajah anakmu di pelupuk. Tak terasa titik-titik air meleleh di pipimu. Tubuh kecil itu sangat rapuh. Di usianya yang empat tahun, untuk dudukpun tak mampu. Apalagi berdiri, berjalan dan berlarian seperti anak seusianya.
Bu Bidan mengatakan kemungkinan anakmu menyandang cerebral palsy. Semacam kelumpuhan karena kerusakan otak yang tak mungkin sembuh. Diagnosa seharusnya ditegakkan oleh dokter ahli. Tapi, apa daya, dokter itu adanya di kota besar.
“Tapi bisa diajarkan mandiri. Yang penting harus diterapi di rumah sakit. Harus tiap hari,” ujar Bu Bidan bertubuh tambun namun sangat ramah dan perhatian itu.
Lidahmu kelu. Hanya dengan bekerja di pabrik kau bisa mengikuti BPJS tanpa harus terpikir untuk membayarkannya sendiri seperti membayar listrik. Artinya tak masalah untuk biaya terapi di rumah sakit pemerintah.
Namun ternyata itu tidak cukup. Perjalanan dari rumahmu menuju ke rumah sakit terlalu jauh. Untuk bisa bolak-balik setiap hari, berapa biaya untuk membayar ojek, mikrobus dan angkot? Kredit motor memang satu-satunya pilihan.
Kau berharap lelaki itu, yang kau sebut suami, mau mengantar anakmu terapi. Daripada hanya bermalasan dengan game di smartphone yang diperolehnya entah dari siapa.  Atau main gitar dan nongkrong di pinggir jalan.
Bebeh temen ngurusi bocah cacat![1]” ujar lelaki itu setengah memaki. Sepeda motor yang kau beli dengan menebas gajimu yang tak seberapa itu, ternyata hanya dipakai untuk kelayaban[2] oleh suamimu. Bahkan, kau dengar suamimu itu telah memiliki pacar anak SMA.  
Kau bergetar murka mengingatnya. Itu sebabnya, kau ambil alih sepeda motor itu untuk bekerja. Dan terapi untuk anakmu itu, baru sekadar rencana yang entah kapan dilakukan.
Terpaksa, selama bekerja kau titipkan anakmu ke rumah uwamu. Uwa yang selama ini mengurus dan membesarkanmu setelah kedua orang tuamu meninggal tertimpa longsor saat kau masih balita. Kau sungguh tak tega membebani saudara tua mediang ibumu itu untuk mengantar anakmu terapi. Tiap hari pula.
Senja berganti malam, saat sepeda motor itu kau parkir di halaman rumah. Gubug warisan orang tuamu yang sudah kau renovasi sedikit-sedikit, agar layak disebut rumah.
Begitu pintu kau buka, aroma busuk tercium. Bergegas kau masuk ke kamar. Ada anakmu yang tidur menggeliat-geliat tak nyaman. Kau geram. Kotoran anakmu telah mengering.
“Lho, Nur…Jebul ko wis bali?[3] Bikinin aku kopi dan masakin air buat mandi,” perintah lelaki itu setelah muncul tiba-tiba tanpa rasa bersalah.
Kau berang. Merasa lelaki itu tidak tahu diuntung.
“Uwa sakit, jadi tadi Rangga diantar balik gasik,” tambahnya enteng, seraya merebahkan badan di depan tv.  Tangannya lalu sibuk memencet-mencet tombol remote control mencari acara tv yang membuatnya riang.
“Trus kenapa kakange[4] tidak membersihkan Rangga? Ini kotoran sampe kering! Matanya juga sembab. Kakange biarkan dia menangis saat BAB sampai dia tertidur?!” teriakmu.
Lelaki itu berdiri. Membanting remote tv di tangan. Wajahnya memerah seperti sapi jantan bertanduk yang siap mengamuk.
“Aku bosan dengan hidup ini. Bosan punya anak cacat! Bosan sama kamu! Bosan sama semuanya!” umpatnya sambil menuding-nuding persis di depan mukamu.
Ditendangnya kursi anyaman bambu yang baru digunakannya untuk duduk.
“Aku juga bosan sama kakange! Uwis ora pakhal[5], maunya dilayani. Nggak bisa diajak brayan[6]! Dasar pemalas!”
Plakk!!
Tamparan keras mendarat di pipimu. Kau tersungkur, memegangi perih pipimu. Pipi yang dulu pernah diusap-usap lembut lelaki itu. Lelaki yang membuatmu hamil sebelum ijab qobul direncanakan. Yang membuatmu memohon – mohon pertanggung jawabannya.
Lelaki itu sempat lenyap. Membuatmu cemas dan kalap. Dukun beranakpun kau paksa untuk menggugurkan janin. Tanpa ampun perut besarmu dipijat-pijat dan dipukul. Aneka ramuan aneh terpaksa kau minum. Meski membuatmu menjerit-jerit karena tak kuasa menahan rasa mulas yang mengerikan. 
Tapi janinmu sangat ingin hidup. Tuhan masih memberinya kesempatan menghirup udara dunia. Dia semakin kuat dan membesar di perutmu. Lambat laun, lelaki itupun muncul. Dia bersedia menikahimu. Dan Ranggapun terlahir ke dunia dengan fisik tak berdaya.
“Ya sudah! Kalau gitu, aku minta cerai saja! Aku sudah tidak tahan hidup seperti ini. Aku bisa hidup lebih tenang tanpa kakange!”
Lelaki itu meludah. Membanting pintu lalu pergi meninggalkan rumah. Rangga terbangun karena kaget, dan merengek. Derai air mata tak mampu kaubendung. Kaupun beranjak membersihkan kotoran Rangga. Semalaman itu, kau tak sanggup berhenti tersedu hingga kepalamu terasa berat dan ngilu. Meratapi nasib yang tak kunjung membaik.
***
Ragu kakimu melangkah menuju Balai Desa. Siang yang senyap. Melalui pintu yang terbuka, kau melihat Pak Modin[7] seorang diri sedang sibuk di depan layar komputer.
“Kulanuwun, Pak,” sapamu sopan.
Lelaki separuh baya itu melemparkan pandangan padamu.
“Ko ora kerja, Nur?[8]
“Ijin, Pak. Bade kepanggih bapake[9]
Pak Modin melepas kacamata bacanya. Diapun berdiri dan mempersilahkanmu duduk di kursi tamu.
“Pangapurane, perangkat liyane karo Pak Kades lagi muyi[10].
“Bayinipun sinten, Pak[11]
“Bayine Si Las, anake Mbok Darkum[12],”
“Ooo….”
Pak Modin menatapmu penuh tanya. Kaupun terlihat kikuk.
Ana apa, ngasi ora mangkat kerja kur arep mengeneh?[13] Kamu nggak takut dimarahi mandormu?”
Kau menggeleng pelan. Tertunduk bingung.
“Nuwun sewu, Pak Modin, saya mau menggugat cerai suami saya, Pak,” ujarmu lirih.
Tanpa disangka, Pak Modin malah tersenyum.
Wis tek kira, mesti ko ora bakal kuwat. Bojomu kuwe ora pantes dipertahankan,[14]” tegasnya.
Rupanya ketidakharmonisan rumah tanggamu sudah lama tercium oleh banyak orang. Termasuk para perangkat desa. Mungkin mereka iba dengan kondisimu.
Pak Modin dengan senang hati membantumu. Mengurus surat-surat ke Pengadilan Agama. Hingga akhirnya lelaki itu, yang tengah kau gugat cerai, kembali ke rumahmu, suatu malam.
“Mau apa lagi?!” jawabmu ketus.
“Kau serius mau minta cerai?”
“Tentu saja! Biar kau bebas. Aku juga bebas”
“Nur…..”
Lelaki itu mengeluarkan sejumlah uang. Ya, beberapa lembar uang berwarna merah bergambar duo proklamator. Diserahkannya uang itu padamu.
“Apa ini? Kakange habis nggarong?![15]
“Hussstt….jangan berpikiran jelek terus. Ini uang hasil penjualan batu untuk bikin akik. Sekarang bermodal ngarah[16] batu di Kali Klawing, aku bisa punya uang. Kiye nggo ko karo Rangga[17]. Terimalah…”
Kau tertegun. Bergantian memandangi lembaran uang itu dan lelaki yang masih menjadi suamimu. Tak percaya. Tapi, aroma kesungguhan menyeruak di wajah lelaki yang pernah membuatmu tergila-gila.
Tiba-tiba air mukanya berubah sendu. Cairan bening tergenang di pelupuknya. Diapun berlutut, terisak-isak, memohon maaf padamu. Dia merasa tak berguna dan buntu.
“Aku bukannya tidak ingin kerja, Nur. Tapi tak ada yang mau mempekerjakan aku. Aku sudah berusaha.”
Tubuhnya terguncang. Air matanya tumpah di daster kumal yang membalutmu.
“Untung saja sekarang sedang booming akik. Hanya dengan mencari batu, aku bisa dapat uang. Beri aku kesempatan, Nur! Beri aku kesempatan menebus kesalahanku, padamu dan pada Rangga! Beri aku kesempatan menjadi suami dan ayah lagi!” pintanya memohon.
Lelaki itu terus meraung. Memeluk lututmu erat. Hatimupun luluh. Luluh karena masih ada sisa cinta yang telah lama tidak tersemai.
Sidang perceraian dibatalkan. Kau terlihat semakin rukun dan mesra dengan suamimu. Rangga mulai mengikuti terapi di rumah sakit. Kini tangan lemahnya sudah mampu melambaikan tangan ‘dadah’ saat kau berpamitan untuk bekerja.
Suamimu benar-benar membuktikan diri menjadi suami yang baik. Dia mengambil alih pembelian beras, listrik dan bahkan membeli kursi roda untuk Rangga. Dia juga mau mengurus Rangga, dan sudah jarang berkumpul lagi dengan teman-teman penganggurannya.
Kau sungguh ingin berterima kasih dan memberikan hadiah untuk suamimu. Sebuah gerinda listrik untuk mengasah batu menjadi akik. Suamimu bilang, sekali mengasah, bisa dapat ongkos Rp 15ribu sampai Rp 25 ribu. Kalau sehari empat sampai lima kali mengasah, seratusan ribu masuk kantong.
“Tiga juta satu bulan, Nur. Tiga juta untukmu sayang, juga untuk Rangga,” ujar suamimu berangan-angan seraya memelukmu malam itu. Pergumulan romantis dihelat. Kau merasa sangat bahagia. Perasaan yang sempat menguap entah kemana.
Suatu sore, sepulang kerja, kau bergegas pulang. Gerinda listrik sebagai kejutan sudah disiapkan. Kau membelinya dari suami temanmu yang kini menjadi perajin mesin Gerinda akik. Lima kali pembayaran setiap kali gajian.
Terbayang semburat bahagia terpancar di raut suamimu. Sudah lama kau tak pernah merasa begitu bergairah. Kau tak tahan untuk segera merasakan hangat peluknya.
“Ooowhh…kakange..kakange…,” gumammu sambil tertawa sendiri. Persis gadis remaja yang tengah gila karena kasmaran.
Memasuki halaman rumahmu menjelang gelap. Ada yang tak biasa. Disana berkumpul banyak orang. Termasuk orang-orang asing berseragam. Perasaanmu menjadi tidak enak.
Suara rengekan Rangga terdengar dari dalam. Begitu kau muncul di balik pintu, semua orang memandangmu trenyuh.
Kau terkesiap. Lelaki yang kembali kau cintai, yang akan kau beri kejutan, terlebih dulu memberimu kejutan. Kejutan yang tidak pernah kauharapkan. Terbujur kaku dengan tubuh basah, menggelembung dan luka disana-sini. Busa-busa halus masih mengalir dari hidung dan mulutnya.
Bojomu keli nang Kali Klawing mau awan pas ngarah watu. Nembe ketemu miki sore nang brug dusun wetan. Sing sabar ya, Nuur….,[18]” bisik Uwa memelukmu seraya terguguk, pilu.
Kau bahkan tak mampu terpekik. Tak berapa lama, tubuhmu limbung, dan roboh. Para pelayat jejeritan menolongmu. Kau rasakan dunia teramat gelap. Gerinda listrik di tanganpun jatuh berantakan. Serupa dengan mimpimu yang hancur berantakan, tersapu angin malam. Hilang bersama perginya sang pujaan. (*)


[1] Ah, malas amat ngurusi anak cacat!
[2] Keluyuran
[3] Lho Nur, ternyata kamu sudah pulang?
[4] Abang
[5] Udah nggak kerja
[6] Brayan = kerjasama
[7] Modin = Kepala Urusan Kesejahteraan di Pemerintahan Desa
[8] Kamu nggak kerja, Nur?
[9] Mau bertemu dengan Bapak
[10] Mohon maaf, perangkat lainnya dan pak Kades sedang menengok bayi
[11] Bayinya siapa, Pak?
[12] Bayinya Si Las, anaknya Mbok Darkum
[13] Ada apa tidak berangkat kerja hanya untuk kesini? Kamu tidak takut dimarahi mandormu?
[14] Sudah aku duga. Kamu pasti tak akan kuat. Suamimu itu tidak pantas dipertahankan.
[15] Abang habis merampok?
[16] Ngarah = mencari
[17] Ini untuk kamu dan Rangga
[18] Suamimu hanyut di Sungai Klawing tadi siang saat mencari batu. Baru ketemu tadi sore di jembatan dusun timur. Yang sabar ya Nur.


(Cerpen ini dimuat di Majalah Pemkab Purbalingga Edisi 99 Tahun 2015, terinspirasi dengan boomingnya fenomena batu akik yang melanda Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah saat itu)

1 komentar: