Senin, 26 Mei 2014

#Inspirasi 19 : Si Narsis yang Pandai Bersyukur


Menjadi yatim piatu di usia sangat muda, bukan halangan bagi Subeno untuk berpendidikan tinggi. Meski harus hidup serba kekurangan, anak ke-11 dari 13 bersaudara ini tidak pernah sedikitpun minder. Sebaliknya, cenderung narsis alias over percaya diri.

Di kalangan para pendidik di Purbalingga, nama Subeno sudah tak asing lagi. Pria berambut putih yang mengingatkan kita pada Hatta Rajasa ini, dikenal sebagai salah seorang pemimpin yang tak pernah menganggap stafnya sebagai bawahan.

“Mereka adalah mitra kerja saya, rekan saya. Kita sama, hanya masalah pembagian tugas saja,” ujarnya kalem.
Sikap low profile Subeno, tak lepas dari perjalanan hidupnya yang penuh ujian. Sebenarnya, pada awalnya keluarga Subeno hidup relatif berkecukupan karena sang ayah, Dipayuda, bekerja sebagai Lurah Tanalum Kecamatan Rembang dan memiliki tanah bengkok yang subur dan luas.


Namun, saat usia 5 tahun, Subeno harus kehilangan sang ayah yang dipanggil Yang Kuasa. Ibundanya, Aminah, yang setia menjadi ibu rumah tangga praktis hanya mengandalkan warisan sang suami, untuk menghidupi 13 anaknya.

Ujian Beno kecil ternyata belum usai. Saat duduk di bangku kelas 4 SD, malaikat Izroil giliran mencabut nyawa sang ibu. Jadilah dia seorang yatim piatu. Padahal, dia sendiri masih memiliki dua orang adik yang juga masih kecil-kecil.

“Menjelang meninggal, kami berkumpul di sekitar ibu. Ibu melihat saya lalu memeluk saya erat sambil menangis dan berkata ‘Ko si kepriwe, Beno’. Mungkin ibu saya sangat khawatir dengan masa depan saya setelah dia tiada,” kisahnya.

Sang ibu pantas untuk khawatir. Karena diantara ke-13 putranya, Beno memang yang paling cerdas dan menonjol. Ibunya sangat khawatir sepeninggalnya, Beno kecil putus sekolah, menjadi anak terlantar dan bermasa depan suram.

“Perkataan ibu sebelum meninggal itu, sangat merasuk ke dalam hati saya. Saya harus membangun masa depan yang lebih baik apapun yang terjadi. Meskipun saya yatim piatu, meskipun saya miskin,” tuturnya seraya menerawang dengan kedua mata berkaca-kaca.

Sepeninggal sang ibu, keluarga besar berembug. Hasil musyawarah, Beno dan adik-adiknya akan diasuh oleh kakak-kakak yang telah mandiri. Mereka tak akan diasuh oleh orang lain, di luar keluarga inti. 

Beno dititipkan kepada anak kedua keluarga besar itu. Tapi, seperti juga kakaknya yang lain, kehidupan ekonomi sang kakak serba kekurangan. Untuk membiayai sekolah anak-anaknya saja, sang kakak terlihat kewalahan. Apalagi setelah Beno juga ikut diasuh disana.

“Pernah waktu sekolah di SMP Negeri 1 Purbalingga. Pas pelajaran ketrampilan membuat telur asin, saya dipanggil pak guru, Pak Prajitno Djojo. Karena saya satu-satunya yang tidak mengumpulkan telur bebek. Lalu saya jelaskan kepada pak guru, kalau saya sudah minta ke kakak saya, tapi kakak saya tidak punya uang. Mendengar penjelasan saya, pak guru malah terharu,” kisahnya lagi.

Karenanya, Beno berusaha seminim mungkin merepotkan kakaknya. Beno aktif mencari beasiswa dengan bermodalkan nilai-nilainya yang selalu terbaik di sekolahan. Saat sekolah di STM YPT 1 Purbalingga, Beno meminta kepada kepala sekolah yang saat itu dijabat Trisnanto (Ketua Kwarcab Purbalingga sekarang-red), agar dirinya menjadi salah satu siswa yang mendapat beasiswa. Karena nilai-nilai Beno selalu maksimal, permohonan itupun dikabulkan.

“Alhamdulillah sampai saya lulus, selalu rangking satu. Saat lulus, saya juga rangking 1 paralel,” ungkapnya penuh syukur.

Saat lulus, kata dia, ada tiga orang guru STM YPT yang berminat membiayai kuliahnya sampai tuntas. Ada guru yang membiayai SPP-nya, ada yang khusus membayar uang pembangunan dan ada yang akan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Beno muda tak gegabah memberikan keputusan. Dia tanyakan dulu kepada kakak-kakaknya. Dari hasil musyawarah, kakak-kakak tidak setuju karena khawatir akan menjadi hutang budi yang sulit ditebus.

Akhirnya Beno berpikir sendiri untuk bisa melanjutkan sekolah. Apalagi kalau bukan dengan berburu beasiswa. Beno akhirnya memilih keguruan kimia dan dibantu beasiswa dari dua lembaga sekaligus. Tak hanya kimia, dalam waktu bersamaan Beno juga mengikuti kuliah fisika dan teknik sekaligus.

Selulus kuliah, pecinta permainan catur ini langsung bekerja di almamaternya, STM YPT. Tak hanya itu, Beno juga mengajar di SMA Karya Bhakti dan SMA Ma’arif Karanganyar. Total jam mengajarnya mencapai 65 jam seminggu.

“Dalam sehari saya mengajar sampai 12 jam, dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore kadang sampai maghrib. Jadi misal pagi di YPT, siang di Karanganyar dan sorenya di Karya Bhakti. Saya yakin, kalau saat ini jarang guru bisa 65 jam sepekan, apalagi sudah sangat jarang sekolah sore karena jumlah lokal kelas semakin bertambah, jumlah guru juga lebih banyak,” ujarnya.

Beno mengaku sangat dekat dengan murid-muridnya. Banyak muridnya yang menganggapnya sebagai sahabat tempat mencurahkan isi hati. Tak terkecuali, Ketua DPRD Kabupaten Purbalingga, Tasdi SH MM. Tasdi pernah curhat meski melalui surat.

“Tulisan tangan dia sangat bagus, rapi sekali. Saya senang membacanya,” tuturnya. 

Narsis dan Suka Tantangan
Meski tumbuh sebagai anak yatim piatu yang serba kekurangan, Subeno termasuk pribadi yang sangat percaya diri dan suka sekali tantangan. Hal ‘gila’ yang pernah dilakukan karena ke-pede-annya, terjadi pada saat menjadi guru di STM YPT. Saat itu dia diamanahi untuk membuat laporan yang cukup ‘njelimet’. Lalu dia mengusulkan kepada pihak Yayasan untuk melakukan pengadaan komputer.

“Saya ditanya oleh atasan, apa kamu bisa mengoperasikan komputer? Saya bilang, bisa, dengan sangat mantap. Akhirnya, usulan diterima. Padahal sejujurnya, saya sama sekali belum bisa komputer seperti semua guru yang ada saat itu. Lihat barangnya saja baru pernah setelah komputer datang,” kisahnya.

Begitu komputer datang, Beno langsung belajar semua rumus-rumus rumit mengoperasikan komputer MS-DOS secara otodidak. Dalam waktu singkat, Beno sudah menguasai komputer itu dan menjadi satu-satunya pemakai.
“Sejak itu, menjadi guru les komputer adalah sumber penghasilan tambahan saya,” ujar suami dari Harsini SPd MSi dan ayah dari Dhiksta Olya W (arsitek di Singapura) dan Gilang Hanu P (Kuliah S2 di UGM).

Pelan tapi pasti, karir Beno terus menanjak. Dari guru menjadi kepala sekolah. Lalu menjadi Kabid Pendidikan Menengah (Dikmen) di Dinas Pendidikan kemudian menjadi Sekretaris di dinas yang sama, dan kini naik lagi menjadi pejabat eselon II: Staf Ahli Bupati Bidang Kemasyarakatan dan SDM.

Subeno berhasil meruntuhkan stereotip negatif tentang jabatan staf ahli yang terkesan jabatan buangan. Sebab, Subeno justru seringkali diminta pendapat dan analisanya oleh Wabup H Sukento Ridho Marhaendrianto MM. Kini diapun dipercaya menyusun perbub, matriks program dan studi kelayakan tentang Kabupaten Layak Anak (KLA) untuk menanggulangi berbagai permasalahan remaja termasuk diantaranya seks pranikah dan narkoba yang semakin mengkhawatirkan. Program KLA ini akan diaplikasikan pada tahun 2014.Lalu, adakah ambisi atau impian yang masih ingin dicapai?

“Saya minta 100, Allah memberi saya 200. Sekarang tugas saya hanya bersyukur dan terus bersyukur. Karena, dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmat yang telah diberikan kepada hambaNya,” ujarnya rendah hati. (cie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar