Kupikir dia tak menyayangiku.
Hanya karena dia tak selalu ada di saat kurindu. Aku bersyukur karena aku salah
sangka. Love You Dad.
![]() |
Aku dan Bapak |
Seperti malam-malam
sebelumnya, aku harus memijat punggungnya hingga tertidur. Tapi anehnya, aku
tak pernah bosan dan berat hati melakukannya. Karena di saat-saat itulah aku
bisa berada dekat dengannya. Bapakku.
“Hayo ngantuk, ya?”
ujarnya seraya mencubit hidungku. Ups, ketahuan deh ngantuk. Seharusnya Bapak
dulu yang tertidur karena pijatanku. Ternyata, sebaliknya. Hihihi…
“Ya sudah. Kamu dah cape
yah? Istirahat dulu,” tuturnya lembut.
Dengan suka cita, akupun
berbaring di sisinya. Hal yang sulit sekali terjadi sebelum beliau sakit. Yah,
Bapak sudah berbulan-bulan tidak lagi bekerja karena penyakit diabetesnya yang
semakin akut.
Dulu, saat beliau masih
segar bugar, hampir seluruh waktunya dia curahkan untuk bekerja. Aku hanya
melihatnya saat makan pagi, dan malam saat aku beranjak tidur.
Sejujurnya, sebelum malam
itu, aku hampir tak mengenal Bapakku seutuhnya. Aku hanya tahu kalau dia adalah
laki-laki yang membuatku ada, melalui rahim ibuku. Kedisiplinannya,
kerapihannya, dan tata krama yang diajarkannya dengan sedikit keras, membuatku
takut dan segan.
Aku, dan semua kakakku,
biasanya lebih dekat dengan ibu. Peraturan ibu yang agak longgar, tak sungkan
memeluk, mencium dan memuji, membuat kami nyaman.
Menjadi sebuah hal yang
lumrah, jika saat kami bermanja dengan ibu didepan tv, dengan posisi tiduran
sekadarnya, tiba-tiba terdengar suara mobil Bapak masuk garasi, otomatis
kamipun merapikan duduk. Jika ada sampah tercecer, kami harus segera
membereskan. Yang tak rapi harus dirapikan. Tegang? Ya, sedikit.
Kalau kami nakal, dan
sulit diarahkan, biasanya ibu atau Mba Wulan, kakak pertamaku, akan
menakut-nakuti kami dengan melaporkan kenakalan kami pada Bapak. Kalau sudah
begitu, kami pasti akan menghentikan kenakalan kami. Seperti hp yang di-silent.
Langsung kalem.
“Kamu ngalamun, Ki?”
Suara Bapak membuyarkan
lamunanku. Sambil tersenyum, akupun memanfaatkan momen ini untuk
mengklarifikasikan semuanya.
“Bapak, Engky boleh
tanya?”
“Ya, tanya saja,”
jawabnya lembut.
“Kenapa selama ini Bapak
lebih suka kerja daripada kami?”
Bapak memandangku lekat.
Pandangannya kemudian berpindah ke langit-langit kamar. Menerawang.
“Dulu, Bapak mengira,
cara seorang Bapak menyayangi anaknya itu ya dengan memenuhi segala kebutuhan
anak-anaknya. Bapak pikir, cukuplah ibu yang mewakili kebersamaan dengan
kalian. Makanya Bapak bekerja segiat mungkin, agar Bapak bisa membelikan apapun yang kalian butuhkan,”
jelasnya pelan.
Terdengar desah nafas
panjangnya.
“Ternyata Bapak salah.
Maafkan Bapak, yah?”
Aku memandangnya trenyuh.
Tanpa mampu berkata apapun, aku memeluknya. Diapun balas memelukku.
“Engky yang minta maaf.
Karena selama ini Engky salah sangka sama Bapak,”ungkapku tersedu.
Malam itupun, kami
bercerita ngalor-ngidul. Seru sekali. Mulai dari masalah perpolitikan. Kata
Bapak, seharusnya Pak Harto mundur segera dari presiden. Istilah tata negara
jawa, itu Noto Nagoro. Bukan Nototototo nanti bakal ada goro-goro. Maksudnya,
setelah Sukarno, seharusnya Pak Harto cukup satu periode saja menjabat lalu
digantikan dengan yang lainnya. Kalau Pak Harto terus memaksakan diri berkuasa,
nanti akan ada goro-goro, atau kekacauan.
"Ih bapak, kalau Pak
Harto bukan presiden, lalu siapa presidennya? Apa ada?" tanyaku khawatir.
Maklum, saat itu rasanya hampir tidak mungkin ada kesempatan bagi orang lain
untuk duduk menjabat sebagai presiden selain Pak Harto. Dan bagi seorang PNS
seperti Bapak, sangat riskan membahas masalah seperti ini.
"Masa dari ratusan
juta jiwa penduduk Indonesia nggak ada yang bisa jadi presiden selain Pak
Harto? Haha, kamu ada-ada aja," katanya ringan. Akupun hanya
mengangguk-angguk ragu. Tak kusangka sama sekali setahun kemudian, goro-goro
itu nyata terjadi.
Lalu kami mulai cerita
yang ringan-ringan. tentang masa lalu Bapak. Bapak bahkan tanpa sungkan
bercerita tentang masa kecilnya yang sering dilarang eyang kalau mau memanjat
pohon. Atau perempuan istimewa keturunan Kraton Solo yang meminta dinikahi saat
Bapak kuliah di UNDIP. Hingga kisah mendebarkan saat akan melamar ibu, sang
kembang desa.
“Bapak melamar ibu dengan
proposal lengkap dengan biodata? Dikasihkan ke Mbah Kakung? Seperti melamar
pekerjaan ya, Pak…haha.”
Kami ngobrol dan tertawa
bersama hingga pagi. Ya, saat itu ibu sedang bertugas sebagai Tenaga Kesehatan
pada musim haji di Mekkah. Mbak Vita dan Mas Tommy masih tinggal di luar kota
untuk kuliah. Mbak Wulan yang baru diwisuda sarjana, sudah terlebih dulu tidur
karena kecapean. Maklum saat itu, Mbak Wulan yang suka kerapian (satu-satunya
yang menuruni Bapak, hehe) menggantikan tugas-tugas ibu. Apalagi saat itu, kami
juga belum dapat pembantu, karena kamitinggal di rumah kami yang baru selesai
rehab di Majasari.
Beberapa bulan kemudian,
kondisi Bapak semakin menurun. Setelah tak satupun rumah sakit di eks
Karesidenan Banyumas mampu menanganinya, pada akhirnya Bapak dirujuk ke RS
Elisabeth Semarang. Akupun sendirian di rumah, karena Mbak Wulan dan Ibu harus
menjaga Bapak. Sedang aku masih harus sekolah. Memang sesekali ada saudara yang
menemani. Tapi hatiku terasa sangat sepi.
Aku tak tahu apa yang
terjadi pada Bapak disana. Semua orang tampak sibuk sampai-sampai tak ada yang
memperdulikanku. Aku rindu Bapak, sekaligus khawatir. Aku ingin ke Semarang
tapi tak tahu harus bagaimana caranya.
“Engky udah ke Semarang,
belum?” tanya teman ibu suatu hari. Teman kerja ibu ini mau berangkat ke
Semarang dengan rombongan Puskesmas Purbalingga. Sebelum ke Semarang, kebetulan
mereka mampir dulu ke rumah Majasari.
Akupun hanya menggeleng
lemah dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya semuaorang baru menyadari, kalau aku
sebenarnya ingin melihat kondisi Bapak. Dengan menumpangmobil Puskesmas
Keliling, akupun ikut ke Semarang.
Di salah satu ruang di
bangsal Xaverius, disana Bapakku dirawat. Saat kusaksikan pertama kali, aku
langsung syok dan berlinangan air mata. Bapaksangat – sangat kurus. Kulitnya
kusam menghitam. Begitu banyak selang menancapdi tubuhnya. Ya Allah, pasti
Bapak sedang sangat menderita.
Tak kuasa, akupun berlari
ke sudut koridor. Aku menangis sepuasnya.Belum lama kebersamaan kami terjalin,
belum lama aku bisa tertawa lepasdengannya, apakah kini Kau akan menjemputnya,
ya Allah?
Akupun ikut menjaga Bapak
di rumah sakit, tanpa terpikir tentang ulangan mid semester yang sedang
berlangsung. Tiap malam aku harus menahan kegetirandemi mendengar rintihan lara
Bapak. .
Saat Ibu dan Mba Wulan
terus terjaga dan sibuk membimbing doa Bapak, aku pura-pura tertidur. Padahal
aku sama sekali tak bisa tidur. Air mataku terus berlinangan membayangkan
betapa sakit yangdiderita Bapak. Tak tahu apa yang mesti aku lakukan. Bodohnya
aku! Amat sangatbodoh! Aku hanya bisa merutuki diri sendiri.
Paginya, keadaan Bapak
berubah drastis. Sangat segar, cerah dan fullsenyuman. Padahal semalaman suntuk
beliau merintih kesakitan. Jangankan untukduduk, berbaring miring saja Bapak
tak kuasa. Tapi pagi itu, beliau sudah dudukrapi di atas ranjang sambil
menyantap nikmat sarapannya.
“Engky, Wulan sini,”
panggilnya lembut kepada aku dan Mba Wulan yang sedang duduk-duduk di atas
tikar.
“Sini, Bapak cium.”
Lalu Bapak mencium pipi
kami satu persatu. Kamipun diminta menciumbeliau bergantian.
“Bapak sayang banget sama
kalian. Semua anak-anak Bapak.”
Lalu beliau memeluk kami.
“Apa Bapak sudah sembuh?”
tanyaku.
“Iya, Bapak sepertinya
sudah sembuh. Insya Allah mau pulang kalautidak nanti malam, ya besok.”
Aku sumringah luar biasa.
Aku sendiri juga sudah tak betah beberapahari tinggal di rumah sakit. Aku ingin
kembali ngobrol ngalor-ngidul dengan Bapak, seperti yang beberapa bulan
terakhir kami lakukan.
“Nah, sekarang, Engky
pulang dulu, yah? Katanya sedang ulangan mid semester, kan?”
Tiba-tiba aku baru
menyadari berapa hari aku meninggalkan sekolah. Artinya, bisakah aku ikut tes
susulan sebanyak itu?
“Engky pulang sama
siapa?” tanyaku bingung.
“Engky kan anak hebat.
Pasti berani pulang sendiri. Latihan mandiri. Naik bis Semarang Purwokerto,
nanti turun di Ngebrak. Beres, kan?”
“Katanya Bapak mau
pulang. Engky pulang sama Bapak saja. Boleh kan?”
“Lho, nanti kalau
ternyata Bapak nggak jadi pulang secepat itu gimana? Ulangannya gimana?”
Akhirnya, akupun
mengalah. Meski sudah Kelas 1 SMU, saat itu aku belum berpengalaman sama sekali
naik bus sendirian. Apalagi untuk jarak
sejauh itu. Dengan mengumpulkan segala keberanian, akupun sukses melalui
perjalanan jauh pertama seorang diri.
Di rumah, sudah banyak
saudara berkumpul disana. Mba Vita sudah pulangjuga ternyata. Akupun langsung
ditanya mengenai keadaan Bapak. Seperti yang aku lihat, aku sampaikan kalau
kondisi Bapak sudah sangat baik, sehat dan mausegera pulang. Semua tampak lega
dan tak sabar menunggu kepulangan Bapak.
Jam 8 malam aku tidur
dengan Mba Vita. Baru terlelap dua jam, kami berdua dibangunkan paksa. Ada
paman, bibi, pak de dan bu de. Lengkap.
“Ki, tadi gimana kabar
Bapak?”
Aku yang masih sangat
ngantuk, rasanya dongkol banget. Apakah mereka tak bisa menunggu untuk bertanya
itu besok pagi saja. Tapi, akupun tetap menjawab dengan menceritakan kondisi
Bapak yang semakin membaik.
“Jadi, Bapak sudah
kelihatan sehat yah?”
“Iya, Bulik,” jawabku
malas.
Mereka saling
berpandangan. Aneh.
“Ki, baru saja kami dapat
telpon dari Semarang. Bapak baru sajadipundhut”
Dipundhut? Maksudnya?
“Bapak baru saja
meninggal dunia, Ki”
Tiba-tiba duniaku terasa
runtuh. Akupun limbung. Seketika kudengar teriakan mereka memanggil namaku.
Pecah tangis. Semakin sayup. Senyap. (*)
Purbalingga, 12 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar